HADIS
MENURUT SYI’AH :
PRESPEKTIF
JA’FAR AL-SUBHANI
Oleh :
Ulfah
Zakiyah
A.
Pendahuluan
Sunnah atau yang lebih dikenal dengan
hadis memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat Islam. Kedudukan
hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah disepakati oleh hampir
seluruh ulama dan umat Islam. Dikatakan demikian, karena dalam sejarah umat
Islam (dari dahulu sampai sekarang) ada kalangan yang hanya berpegang kepada
al-Qur’an dalam menjalankan agamanya.[1]
Hadis memiliki sejarah yang panjang dan unik
sebagaimana dari tradisi oral menjadi tradisi tulisan. Selain itu
pengkodifikaisan hadis pun melalui proses yang cukup panjang yang diwarnai persaingan politik
dikalangan umat Muslim. Seperti halnya tradisi hadis dikalangan Sunni dan
Syi’ah berbeda. Hal ini terlihat dari pengertian akan hadis sendirinya pun
berbeda antara Sunni dan Syi’ah sehingga kriteria pengambilan ataupun kwalitas
antara hadis Sunni dan Syi’ah berbeda karena beda pemahaman dalam mengambil suatu
hadis.
Seperti halnya Ja’far al-Subhani salah
satu tokoh ulama Syi’ah yang memiliki peran yang cukup besar dalam masyarakat
Syi’ah khususnya. Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana
Hadis dalam prespektif Ja’far al-Subhani yang merupakan salah satu tokoh Syi’ah
yang terkemuka.
B.
Pengertian
Hadis dalam Prespektif Syi’ah
Pengertian hadis dikalangan Sunni adalah hal-hal
yang berasal dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan
maupun sifat-sifat beliau berupa sifat fisik, moral maupun perilaku dan hal itu
baik sebelum ataupun seseudah beliau menjadi Nabi. [2]
Sedangkan dalam konsep Syi’ah bukan
hanya perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun sifat Nabi Muhammad Saw saja
namun ditambahkan mengikuti suatu hadis dari salah seorang Imam dua belas,
mereka berpendirian bahwasannya keimanan dan imamah terbatas pada Ali bin Abi
Thalib dan keturunannya. Imamah menurut Syi’ah adalah bentuk dari perintah
Tuhan, sebagaimana kenabian, maka dalam pertunjukannya merupakan perintah Allah
dan Allah berhak menghendaki diantara hamba-Nya . Terdapat perbedaan antara
pengertian Nabi dan Imamah, Nabi adalah pendiri dari sebuah risalah sedangkan
Imamah penjaga dari risalah. Jadi berdasarkan hal ini yang memegang kendali
pemerintah dan keagamaan sepeninggal Rasulullah menurut Sy’ah adalah
orang-orang yang terpelihara dari setiap kesalahan dan disucikan dari segala
dosa dan kekurangan (maksum) agar ia menjadi suri tauldan bagi umatnya.[3]
Ulama fikih Syi’ah Imamiyah memposisikan perkataan
para Imam ma’sum (suci dari dosa)
dari kalangan ahlul bait, seperti halnya perkataan Nabi Muhammad Saw sebagai
sebuah argumen yang wajib diikuti oleh para penganutnya. Jadi definisi Sunnah
menurut Syi’ah Imamiyah yaitu perkataan, perbuatan, ketetapan para Imam ma’sum. [4]
Lain halnya dengan Syi’ah Zaidiah mengartikan Sunnah. Sehingga Sunni dan Syi’ah
pun memiliki perbedaan dalam kitab rujukan utama hadis jika Sunni kitab
monumental hadisnya adalah Shahih
Bukhari karya Imam Bukhari sedangkan kitab rujukan utama hadis Syi’ah adalah
kitab al-Kafi karya al-Kulaini.[5]
Syi’ah sering kali dituduhkan mempercayai
hadis-hadis yang berbeda dengan yang dipercayai Ahlus Sunnah. Hal ini sungguh
terbantahkan oleh sedikitnya alasan, dalam buku Syiah Menurut Syi’ah sebgai berikut :
Pertama, meski diriwayatkan dengan rantai periwayatan
yang berbeda, banyak sekali hadis Syi’ah yang memiliki persamaan kandungan
dengan hadis yang beredar dalam kalangan Ahlus Sunnah. Hal ini mudah terlihat
bagi orang-orang yang terbiasa membaca buku-buku Syi’ah dan Ahlus Sunnah
sekaligus.
Kedua, tak
jarang penulis Syi’ah menggunakan hadis-hadis yang beredar dikalangan Ahlus
Sunnah. Contoh yang menonjol dalam hal ini adalah 20 jilid buku Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an Muhammad
Husein Thabathaba’i ataupun karya Ayatullah Murtadha Muthahari yang terjemahnya
banyak beredar di Indonesia. [6]
Ketiga, amat
banyak rijal hadis dikalangan Syi’ah
yang riwayatnya diterima diberbagai kitab shahih dikalangan Ahlus Sunnah.
Diantaranya adalah Aban Ibn Taghlib,
Ibrahim Ibn Yazid Ibn Umar, Ismail Ibn Abban Al-Azdi Al-Kufi Al-Warraq, Ismail
Ibn Khalifah Al-Mulai Al-Kufi, Talid Ibn Sulayman Al-Kufi, Al-A’raj, Thabith
ibn Dinar, ‘Abdullah ibn Daud, Ali Ibn Shalih dan masing banyak perawi
lainnya.
C.
Pengumpulan
dan Penulisan Hadis dalam Prespektif Syi’ah
Di kalangan Syi’ah,
sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa Syi’ah meyakini sumber hadis
tidak hanya terletak pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Secara doktrinal, sumber hadis di kalangan Syi’ah berbeda dengan ortodoks
muslim. Sumber hadis tidak hanya sebatas dari ucapan dan perbuatan Nabi, tetapi
mencakup semua ucapan dan perilaku para imam ma’shum, termasuk ucapan
Fatimah binti Muhammad SAW karena termasuk dalam khitab ahl al-Bait yang
dijamin kesuciannya oleh wahyu.
Syi’ah meyakini bahwa
tradisi penulisan hadis telah berkembang sejak zaman Nabi SAW. Sebagaimana juga
diyakini oleh Sunni. Namun Syi’ah hanya meyakini apa yang pernah ditulis oleh
‘Ali bin Abi Thalib. Beliau mendiktekan hadis-hadis kepada ‘Ali ra. Yang
kemudian ditulis dalam lembaran-lembaran dan disimpan dalam sarung pedangnya.
Tatkala Rasulullah wafat, Ali ra. memeliharanya dengan baik. Sahifah itu
kemudian dikenal dengan “sahifah ‘Ali”. Selain sahifah, yang
umumnya memuat hukum diyat dan beberapa persoalan lainnya, Rasulullah saw. juga
mendiktekan kepada ‘Ali ra. hadis-hadis lain yang disalin ke dalam
lembaran-lembaran yang jauh lebih besar yang kemudian dikenal dengan nama al-Jami’ah.[7]
Pada masa kegaiban Imam
Mahdi, para pengikut Ahl al-Bait berusaha membukukan kembali hadis-hadis
yang sempat tercecer. Mereka memulai dari kitab-kitab yang masih tersisa,
melalui periwayatan langsung dari orang ke orang hingga sampai pada Rasulullah
SAW, atau sampai ke salah satu imam dua belas. Hadis-hadis itu diantaranya
telah dibukukan oleh Abu Rafi’ al-Qibti al-Shi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam,
dan al-Qadaya.[8]
Pada tahap berikutnya,
para ulama Syi’ah berusaha untuk membukukannya ke berbagai macam kitab yang
hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis utama yang dikenal dengan al-Kutub
al-Arba’ah, yakni: al-Kafi, Man la Yahduruh al-Faqih, Tahdhib
al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min Akhbar.[9]
D. Klasifikasi
Hadis Syi’ah
Dalam hal pembagian hadis, puak
Usuliyyah memiliki cara tersendiri dan berbeza dengan sunni, menurut mereka
hadis terbagi menjadi dua jenis hadits, yaitu hadis Mutawatir dan hadis Ahad.
Hadis Mutawatir versi Syiah ini sebenarnya tidak jauh berbeza dengan kalangan
sunni, yakni hadis yang diriwayatkan oleh sebuah sekumpulan (jama'ah) yang
mencapai bilangan yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan
salah [10].
Hadis seperti ini adalah hujjah dan harus dijadikan landasan dalam beramal.
Sedangkan hadis Ahad, adalah hadis
yang tidak mencapai derajat tawatur, rawi yang diriwayatkannya satu atau lebih [11].
Definisi ini tidak jauh berbeza dengan definisi Ahli Sunnah, Kemudian. Perlu
disebutkan bahawa syiahpun mengklasifikasikan hadis ke beberapa jenis hadis
sebagaimana dalam metodologi Ahli Sunnah, dan dalam kajian hadis Syiah
metodologi pembagian hadis baharu dikenal pada masa imam Ahmad bin Tawus yang
wafat pada tahun 673 Hijrah. Pada masa sebelumnya hadis dibagi kepada dua
bagian saja, iatu hadis sahih dan hadis daif. Oleh karena itu syiah terpaksa
mengakui ketebelakangannya dalam metodologi hadis, hal ini diakui oleh
Ayatullah Syed Hasan al-Sadr beliau menyatakan bahawa Ahmad bin Tawus adalah
orang yang merumuskan dan mengarang istilah dan pembagian hadis syiah kepada
Sahih, Hasan, Muwats-tsaq dan da’if [12].
Dengan demikian jelas bahwa syiah
tidak mengenal pembagian hadis sahih, hasan, muwats-tsaq, dan da’if sebelum
datangnya sang peletak rumusan hadis (imam Ahmad bin Tawus), hal ini disebabkan
karena adanya keyakinan bahawa sebagian riwayat yang ada dalam kitab hadis
mu’tamad mereka adalah sahih seratus peratus. Oleh karena itu syiah imamyah
Akhbariyah telah membatasi hanya empat kitab mu’tamad sahaja, adalah :
1. Kitab
“Al-Kafi”, yang ditulis oleh Al-Kulaini (Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq).
2.
Tahdzib
Al-Ahkam, karangan Abu Ja’far At-Thusi (Muhammad bin
Hasan bin ‘Ali).
3. Ketiga: Al-Istibshar, juga
dikarang oleh Abu Ja’far At-Thusi. ((Muhammad bin Hasan bin ‘Ali).
4.
Keempat:
Man La Yahduruhul Faqih, oleh Ibnu Babawaih Al-Qummi (Abu
Ja’far, Muhammad bin Ali bin
Husain bin Musa).
E.
Biografi
Ja’far Al-Subhani
Ja’far al-Subhani lahir pada tanggal 28 Syawal tahun
1347 di kota Tabriz, Iran. Ja’far al-Subhani merupakan putra salah satu ulama
terkenal dengan ketakwaan dan kezuhudan yakni Muhammad Husein Subhani
Khiyabani, keluarga Ja’far al-Subhani merupakan keluarga ulama yang terkenal.
Setalah menyelesaikan pendidikannya di
Sekolah Dasar, beliau masuk kesekolah agama tradisional dibawah pengawasan
Mirza Mahmud Fadil, putra Fadil Muraghi, salah satu murid Syeikh Ansari. Di
sekolah agama yang lazim disebut maktab ini
Ja’far Al-Subhani belajar sastra Persia. Diantara buku-buku yang dipelajarinya
adalah Gholestan, Bustan, Tarikh
e-Mu’jam, Nishabus Shibyan, Abwabul Jinan dan yang lainnya. [13]
Setelah menginjak usia empat belas tahun, pada tahun 1361 H, Subhani muda masuk
ke Madrasah Ilmiah Talibiyah kota Tabriz
untuk menimba dasar-dasar ilmu agama Islam sampai ke tingkat sutuh.[14]
Setelah
menyelesaikan pendidikan tingkat sutuh
pada
tahun 1369 H, beliau masuk ke jenjang bahtsul kharij ilmu
fiqih dan usul. Pada jenjang ini beliau berguru
pada ulama-ulama besar seperti:
-
Ayatullah
al-Uzma Burujerdi (1292-1380 H) bab
waktu shalat.
-
Ayatullah Sayid
Muhammad Hujjat Kuhkamari (1301-1372 H )
F.
Karya-karya
Ja’far Al-Subhani
Ja’far al-Subhani merupakan salah satu ulama Syi’ah
yang disegani di lingkungan masyarakat Syi’ah karena kecerdasannya. Berikut
karya-karya tulis Ja’far al-Subhani diantaranya sebagai berikut :
1. Kitab
Ushul Hadits wa al-Ahkam
2. Kitab
Kulliyat fi ilmi al-Rijal
3. Kitab
Buhuts fi al-Mihal wa al-Mihal
4. Kitab
‘Ain Wahabiyat
5. Kitab
Ilahiyyat ‘ala Huda al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Aqli
6. Kitab
Al-Syi’ah fi al-Mawqib al-Tarikh
7. Kitab
Al-Bada fi ‘Alami al-Kitab wa al-Sunnah
8. Kitab
Al-Syafa’ah fi al-Kitab
9. Kitabal
Nahabiyah fi al-Mizan
10. Kitab
al-Ziarah fi al-Kitab wa al-Sunnah
11. Kitab
al-Tawasul al-Mafhumuhu wa Aqsamuhu waWukmuhu
12. Kitab
Madriyah al-Ma’rifah al-Madal Ila al’ilmi wa al-Falsafah
13. Kitab
al-I’isham fi al-Kitab wa al-Sunnah
14. Buku
The Messege
15. Rislah fi Tahsin
wa Taqbih al-Aqliyaini
Itulah hanya beberapa karya Ja’far
al-Subhani, selain itu masih banyak yang penulis belum cantumkan. Hal ini menunjukan bahwasannya
Ja’far al-Subhani merupakan salah satu ulama Syi’ah yang sangat produktif.
Ja’far al-Subhani tidak hanya fokus dengan ilmu hadis saja namun dengan
dispilin ilmu yang lain juga, hal ini terlihat dari karya-karyanya yang lain.
G.
‘Adalah dan Dhabith dalam Prespektif Ja’far Al-Subhani
1. ‘Adalah
Berbicara pemikiran ataupun hadis dalam
prespektif Ja’far al-Subhani tentu tidak akan lepas dari aliran Syi’ah karena Ja’far
al-Subhani merupakan salah satu tokoh ulama Syi’ah, hal ini tentu akan sangat
mempengaruhi bagaimana caranya memahami hadis. Karena hal ini jelas terlihat
Syi’ah dan Sunni memiliki perbedaan dalam mendefinisikan pengertian dari hadis
tersendiri.
Begitu pula dengan Ja’far al-Subhani sebagai tokoh Syi’ah, Ja’far Subhani mengatakan bahwa
ada perbedaan pendapat dalam pemahaman dan menentukan sarat-sarat ‘adalah para
periwayat.Pendapat yang masyhur tentang ‘adalah periwayat itu adalah orang yang
memiliki jiwa yang kokoh, berpegangan teguh dengan ketakwaannya, meninggalkan
perbuatan dosa-dosa besar serta berketetapan hati untuk tidak melakukan
dosa-dosa kecil.[16]
Syarat-syarat lain yang termasyhur dan kriteria ‘Adalah seorang periwayat yaitu
berakhlak baik. Periwayat yang ‘Adalah dapat terindikasi dalam segala perbuatan
anggota tubuhnya sehari-hari.[17]
Periwayat yang bersifat ‘adalah itu merupakan syarat bagi diterimanya sebuah
Hadits yang diriwayatkan melalui para imam yang ‘Adalah yang riwayat sanadnya
itu bersambung pada Imam yang ma‘sum,
meskipun tidak harus memenuhi seluruh tingkatan tabaqah melainkan cukup
sebagian saja asalkan riwayat sanadnya bersambung.[18]
Ja’far Subhani mengatakan bahwa para periwayat yang bersifat ‘Adalah itu adalah
syarat yang utama bagi diterimanya sebuah Hadits yang diriwayatkan melalui para
imam.
Berikut kriteria ‘adalah bagi seorang perowi
menurut Ja’far Subhani adalah:
a. Beragama
Islam
Sudah
menjadi kesepakatan bahwa Hadis yang diriwayatkan dari orang kafir sudah tentu
tidak diterima, apapun statusnya. Ja’far Subhani mengatakan bahwa hadis harus
bersumber dari orang Islam yang x riwayatnya dinukil dari para imam yang dua
belas yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.[19]
b. Berakal
Riwayat
yang diterima dari seorang yang tidak waras akan condong kepasda sesuatu yang
mencacatkan dan merusak hadis sekalipun apa yang dikatakannya mengandung suatu
kebenaran.[20]
c. Baligh
Menurut
Ja’far Subhani riwayat suatu hadis yang bersumber dari anak kecil yang belum
tertaklifi oleh hukum tidak diterima riwayatnya.[21]
d. Bermadzhab
Syiah Imamiah
Syarat
terakhir bagi periwayat yang ‘adalah adalah harus bermadzhab syi’ah imamiyah
karena semua persyaratan periwayat ‘adalah itu sebagai keutamaan para imam.[22]
Ja’far Subhani juga mengatakan bahwa periwayat yang keluar dari jalur imamiyah
dilarang kecuali apabila orang tersebut benar-benar teruji ketsiqqahannya.[23]
2. Dhabith
Seorang periwayat betul-betul telah
hafal dengan baik Hadits yang diriwayatkan, mengerti dan hafal riwayat tersebut
baik secara hafalan maupun tulisannya.Seorang periwayat juga harus mengetahui
hal-hal yang bisa menyebabkan tercela atasnya, mengetahui hal maknatersirat
suatu Hadits.[24]
Menurut beliau bahwa Dhabth bagi seorang periwayat itu adalah bukan tujuan yang
utama, tetapi hanya sekedar memungkinkan untuk diambil dalam meriwayatkan suatu
Hadits.Tujuan utama bagi seorang periwayat Hadits adalah adalah ‘Adalah, sebab
setiap yang ‘Adalah pasti Dhabth tetapi tidak semua yang Dhabth itu memenuhi
kriteria ‘Adalah.[25]
Kriteria yang disebut di atas harus
keluar dari orang-orang yang tsiqah, sementara orang bisa dikatakan tsiqah
menurut beliau harus memenuhi paling tidak satu dari tiga kriteria di bawah
ini, yaitu;
a. Orang yang hafal terhadap Hadits
b.
Bermazhab Imamiyah
c.
Harus bersifat ‘Adalah dan di satu sisi juga harus muttafaq ‘alaih) atau paling
tidak disepakati oleh dua orang periwayat dari salah satu Imam yang dua belas. Syekh
Ja’far Subhani merinci nama-nama orang yang tsiqah dikalangan Syi’ah yang
riwayat Haditsnya bisa diterima adalah:
1)
Abdullah binYakub
2)
Al-Mufadal bin Umar
3)
Yunus bin Ya’kub
4)
Ali bin Mujib
5)
Abdul Aziz bin Muhtadi
6)
Muhammad bin Isa
7)
Khulaini dari Abdullah bin Ja’far bin Khumaini
8)
Al-Khulaini bin Abi Ishak bin Ya’qub
9)
Abu Hammad ar-Razi
10)A1-Kasyi
dari Qashim bin A’la
11)A1-Barqy
bin Abdillah
12)Al-Mufid
bin Abdul Aziz dari Mesir
13)A1-Barqy
dari Jabir Abi Khalaf
14)Ahmad
bin Abi Khalaf dari Abi Ja’far
15)Hasyim
al-Ja’fari
16)Muhammad
bin Ibrahim
17)Hamid
bin Muhammad al-Azdy
18)Sa’ad
bin Abdillah al-As’ari
19)Abdillah
a1-Kufi
20)Ibnu
Udzainah dari ‘Aban bin Abi Iyas.
Demikianlah
para perawi yang menurut Ja’far Al-Subhani bisa diterima riwayatnya dengan
kredibilitas ke dhabitannya.
Kesimpulan
Perbedaan mendasar
antara Sunni dan Syi’ah dan kali ini
Ja’far Al-Subhani yang memposisikan sebagai tokoh ulama Syi’ah yaitu terletak
pada sumber utama hadis dan persoalan verifikasi terhadap keotentikan hadis.
Pertama, tentang sumber hadis. Syi’ah beranggapan mengenai tidak terhentinya
wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw dan masih tetap mengakui adanya hadis
yang bersumber dari keturunan Nabi, khususnya dari Ali, bahkan para imam juga
dianggap dapat mengeluarkan hadis. Kedua, kaitannya dengan persoalan verifikasi
kesahihan hadis, para ulama Syi’ah dalam kajian sanad suatu hadis telah
memberikan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Di antaranya: Bersambung
sanadnya kepada yang ma’sum, Seluruh
periwayat dalam sanad berasal dari kelompok Syiah dalam semua tingkatan, dan
seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
dan dhabit.
DAFTAR
PUSTAKA
Khon,
Majid. Ulumul Hadis. Jakarta : Pusat
Studi Wanita, 2005.
Mustfa
Yaqub,Ali. Kritik Hadis .Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008
Allamah,
Tabataba’i, Islam Syi’ah : Asal Usul
Perkembangan, Jakarta: Temprit, 1989.
Mustafa
Rafi’i, Islam Kita : Titik Temu Sunni
–Syi’ah . Jakarta: Milestone Publiser, 2013.
Nisa,
Khairul Mudawinun , Hadis dikalangan Sunni ( Shahih Bukhari) an Syi’ah (Kitab
Al-Kafi al-Kulaini) Jurnal An-Nuha Vol 3, No 1. Juli 2016
Tim
Ahlul Bait, Syiah Menurut Syiah. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia, 2014.
I.K.A.
Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib
al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat,
Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
Abu
Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, (Beirut: Dar al-Ta’aruf
li-al-Matbu’at, 1990), Juz 1
Eliade, Mircea. The Encyclopedia of
religion, Vol. 6 . New York:
Macmilian Publishing Company, 1997.
Al-Islam.Org,
Biography Ayatulah Ja’far Subhani. https://www.al-islam.org/islamic-moral-system-commentary-surah-hujurat-jafar-subhani/biography-ayatullah-jafar-subhani. Diakses
pada tanggal 17 Desember 2017.
Muhammad ‘Ajj aj al- Khatib,
Ushul al-Hadits .Beirut: Dar al-Fikr,
1989
Zain., Y.s,
diakses pada 16 Februari 2005 dari http://www.al-ahkam
Al- Khatib, Ushul al-Hadits
Subhani,
Ja’far. Usul al-Hadis wa ahkamuhu fi ‘Ilmi al-Dirayat, (Qum: Al-Nasyr alIslami,
2001.
Al-Sayyid,
Kamal. The Companions of the Prophet and
Their Followers. Qom: Ansariyan Publications, 2000.
Husein
Ya’qub, Ahmad. Nazariyyah ‘Adalah al-Shahabah, (Qom: Anshariyan
Publication, 1996).
Yuslem,
Nawir. Ulumul Hadis, Jakarta:
Mutiara Suber Widya, 2003.
[1] Majid Khon dkk, Ulumul Hadis (Jakarta : Pusat Studi
Wanita, 2005), h. 201
[2] Ali Mustfa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h.33.
[3] Allamah, Tabataba’i, Islam Syi’ah : Asal Usul Perkembangan,(Jakarta:
Temprit, 1989), h. 11.
[4] Mustafa Rafi’i, Islam Kita : Titik Temu Sunni –Syi’ah (Jakarta:
Milestone Publiser, 2013), h.87
[5] Khairul Mudawinun Nisa’, Hadis dikalangan
Sunni ( Shahih Bukhari) an Syi’ah (Kitab Al-Kafi al-Kulaini) Jurnal An-Nuha Vol 3, No 1. Juli 2016 h.
42
[6] Tim Ahlul Bait, Syiah
Menurut Syiah (Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia, 2014),
h. 73.
[7] I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini,
Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib al-Ahkam and al-Istibsar by
al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal
Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
[8] Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub
al-Kulaini, Ushul al-Kafi, (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at,
1990), Juz 1, hlm. 3.
[9] Mircea Eliade, The
Encyclopedia of religion, Vol. 6
(New York: Macmilian Publishing Company, 1997), hlm. 150-151.
2 [10]
Lihat: Zainuddin al-‘Amili, al-Dirayah, 1/125. Dan bandingkan dengan definisi
Al-Suyuti dalam kitab
[11]
Lihat: Zainuddin al-‘Amili, al-Dirayah, 1/5. AL-Mazindarani, Miqyas al-Riwayah,
32. Dan bandingkan dengan definisi Ibnu Jama’ah dalam kitab “Al-Manhal
al-Rawi”, 32.
[13]
Al-Islam.Org, Biography Ayatulah Ja’far
Subhani. https://www.al-islam.org/islamic-moral-system-commentary-surah-hujurat-jafar-subhani/biography-ayatullah-jafar-subhani. Diakses pada tanggal 17 Desember 2017.
[15]
Zain, Y.s, diakses pada 16 Februari 2005 dari http://www.al-ahkam
36 Al- Khatib, Ushul al-Hadits, h. 377-379. 37 Ibid,hlm.17.
[16] Ja’far Subhani,
Usul al-Hadis wa ahkamuhu fi ‘Ilmi al-Dirayat, (Qum: Al-Nasyr alIslami, 2001),
h. 133-134
[17] Ya’qub,Nazhariyyah ‘Adalah al-Shahabah, h. 20, 23-24.
[18] Kamal
al-Sayyid, The Companions of the Prophet and Their Followers (Qom: Ansariyan
Publications, 2000).
[19] Kamal al-Sayyid, The
Companions, hlm. 131-132.
[20] Ahmad Husein Ya’qub, Nazariyyah
‘Adalah al-Shahabah, (Qom: Anshariyan Publication, 1996), hlm. 54.
[21] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
(Jakarta: Mutiara Suber Widya, 2003), hlm. 109-110.
[22] Muhammad ‘Ajjaj Al-Katib, Ushul
al Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 380-381.
[23] Muhammad ‘Ajjaj Al-Katib, Ushul
al Hadis,h. 133.
[24] Muhammad ‘Ajjaj Al-Katib, Ushul
al Hadis,h.135