Senin, 14 Desember 2015

Nāsikh Mansūkh ( Kontekstualisasi Hadits Larangan Ziarah Kubur Kepada Perempuan )

Nāsikh Mansūkh
( Kontekstualisasi Hadits Larangan Ziarah Kubur Kepada Perempuan )

Oleh :
Ulfah Zakiyah

Abstract :
This paper will discuss nāsikh mansūkh understanding, Nāsikh mansūkh  terms, history of nāsikh mansūkh, way know nāsikh mansūkh, and followings the example. Nāsikh mansūkh is settlement method part from hadits-hadits that conflict ( Mukhtālif ).
A.    PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadis merupakan sumber kedua hukum islam setelah al-Qur’an, hadis memiliki peranan yang sangat penting dalam ranah syari’at Islam. Selain itu Hadis memiliki peranan juga sebagia penjelas bahkan terkadang merupakan pembatas dari hukum dalam al-Qur’an yang bersifat mujmal. Namun tidak jarang kita temui hadis-hadis yang bertentangan tentu akan membuat kita bertanya-tanya mengapa hadīts ini bertentanagn bukankah hadis itu sebagai rujukan hukum kedua setelah al-Qur’an. Apa lagi ketika hadis-hadis tersebut mengatakan hukum islam itu tidak konsisten.
Dari dulu sampai sekarang mengenai ziarah kubur memang terdapat ikhtilāf ada yang mengatakan ziarah kubur bagi perempuan itu boleh ada juga yang mengatakan tidak boleh. Masing-masing dari kedua kubu ini memiliki alasan dan dalil tersendiri. Adapun Makalah ini akan mencoba memafarkan nāsikh mansūkh dengan contoh hadis “ Larangan Ziarah Kubur Kepada Perempuan “
Permasalahan
             Dalam menyikapi hadis-hadis yang bertentangan para ulama berbeda-beda dalam menyelesaiakannya ada yang langsung menasikh ada juga yang mentakwil, mentarjih bahkan menjama. Adapun persoalan dalam hadis ini ialah makna “ laknat “ dalam hadis yang Rasulullah Saw. melarang perempuan untuk ziarah. Dan makna dilarangnya perempuan ziarah kubur.
Sistematika Penulisan
            Secara keseluruhan tulisan ini terdiri dari sub bahasan, dimulai dari pengertian nāsikh mansūkh, sejarah nāsikh mansūkh, syarat-syarat nāsikh mansūkh, pendafat ulama mengenai nāsikh mansūkh, faktor-faktor nāsikh mansūkh, urgensi mempelajari nāsikh mansūkh dan pengaplikasian dalam kontektualisasi suatu hadis.
B.     PEMBAHASAN
Pengertian Nāsikh mansūkh
Secara etimologi naskh dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Sedangkan secata terminologi nāsikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lainn.  Disebutkannya kata “hukum” disini, menunjukan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” tidak termasuk yang di nāsikh. Kata-kata dalil hukum syara’ mengeculaikan pengangkatan (penghapusan) hukum syara’ yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma atau qiyas.
Sejarah Nāsikh Mansūkh
                 Nāsikh Mansūkh telah ada semenjak Nabi Muhammad Saw. masih ada, namun pada masa Rasulullah Saw. ilmu nāsikh mansūkh belum dibukukan. Mengenai siapa ulama yang pertama mengkodifikasi Ilmu Nāsikh Mansūkh terdapat ikhtilaf dikalangan ulama ada yang menyebutkan Imam Al-Syafi’i dan adapula yang menyebutkan Al-Zuhrī.
                   Ilmu Nāsikh Mansūkh muncul ketika Imam Al-Syafi’i membuat menulis karya monumentalnya, Al-Risâlah. Memang benar bahwa jauh sebelum al-Syâfi’î, para sahabat sudah membicarakan tentang Nâsikh danMansûkh sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Berarti Ilmu Nāsikh Mansūkh baru menjadi sebuah disiplin ilmu ketika Abad ke-2 H.
                  Sedangkan, Al-Zuhrī berkata : “ yang paling memberatkan dan yang paling menguras tenaga bagi ahli fiqih adalah membedakan hadis yang telah dimansūkh dengan hadis yang menāsikhnya.[i]
                 Berdasarkan pernaytaan diatas al-Hāzimī berpendapat bahwa Ibn Syibāh al-Zuhrīlah ulama yang pertama kali menggagas nāsikh mansūkh dalam ‘Ulūm al- Hadīth. Perkataan ini juga didukung oleh pendapat Al-Zuhrī : “ Ilmu ini “ nāsikh mansūkh “ belum pernah dikodifikasi oleh seseorangpun sebelum aku. “ [ii]
Syarat-syarat Naskh Mansukh :
1.      Hukum yang dināsikh adalah hukum syara’
2.      Ada Hadis yang bertentangan dan bertolak belakang
3.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah ikhtibar syar’i yang datang lebih kemudian dari kitab yang hukumnya dimansukh
4.      Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terkait (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nāsikh.[iii]
Untuk mengetahui nāsikh dan mansūkh terdapat beberapa cara :
1. Keterangan tegas dari nabi Muhammad Saw atau sahabat, seperti hadits :
“aku (dulu) pernah melarang berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah (H.R Al-Hakim)
2. Ijma’ Umat bahwa hadits ini nāsikh dan yang itu mansūkh
3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
Pendapat Ulama Mengenai Nāsikh mansūkh  :
1.      Menurut jumhur ulama tidak ada perselisihan mengenai nāsikh mansūkh, karena ada nash yang menjelaskan diperbolehkannya nāskh mansūkh yaitu dalam al- Qur’an ( Q.S Al-Baqarah : 106)
2.      Orang-orang Yahudi, mereka tidak mengakui adanya nāsikh [iv]
Adapun menurut saya pribadi berdasarkan pemaparan nāsikh mansūkh diatas saya dapat simpulkan bahwa yang memiliki otoritas penuh dalam meNāsikh mansūkh  adalah nabi Muhammad Saw. Karena yang mengeluarkan haditslah yang berhak menghapus hadits tersebut pula. Adapun ulama hanya berupaya sebagai mujtahid berdasarkan syarat-syarat nasih mansukh yang telah disepakati ulama.
Otoritas nāsikh mansūkh :
1.      Rasulullah Saw
2.      Sahabat
3.      Ijma’
Berdasarkan pemaparan dosen fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta yakni Rifqi Muhammad Fathi, MA nāsikh mansūkh bisa terjadi akibat dari beberapa faktor, berikut diantaranya faktor-faktor yang bisa terjadi nasikh-mansukh :
1.      Adanya sejarah dari hadis mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih belakangan .
Mengetahui hadits mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih belakangan tentunya harus dilihat  terlebih dahulu hadits tersebut berdasarkan historisnya (sejarah). Dan hadits yang datang belakanganlah yang akan menāsikh hadis yang lebih dahulu.
2.      Yang dipraktek dan yang tidak dipraktekan ( معمول به >< غير معمول به )
Adapun faktor yang kedua yang memungkinkan terjadinya Nāsikh mansūkh  ialah faktor hadits yang diperaktekan dengan hadits yang tidak diperktekan. Tentu hadits yang diperaktekanlah yang lebih kuat dari pada yang tidak dipraktekan dalam manasikh sebuah hadis.
3.      Mutawatir berlawanan Ahad
Ketika menemukan hadits-hadits yang di duga berlawanan satu  dengan yang lainnya, maka ketika akan menasikh sebuah hadits tent ulah harus memperhatikan hadits itu mutawatir atau ahad. Sedangkan, telah kita ketahui bahwa Hadist mutawatir lebih kuat dari hadits ahad maka dalam Nāsikh mansūkh  pun yang lebih kuat untuk menaskh sebuah hadits ialah hadits mutawatir
4.      Sedangkan menurut Mahmud Thahan menambahkan faktor Nāsikh mansūkh  yaitu tempat keluar hadits tersebut seperti nuzulnya al-Qur’an yaitu dilihat dari Makkah atau Madinah.
Urgensi Mempelajari Nāsikh-Mansūkh
1.      Hukum Nāsikh Mansūkh adalah demi kemaslahatan umat manusia
2.      Agar proses pembentukan syari’at menjadi sempurna dengan adanya perkembangan dakwah Islam serta tidak terlepas dari kondisi umat Islam.
3.      Merupakan suatu ujian untuk orang mukallaf[v]

Kitab-kitab Yang Membahas Nāsikh Mansūkh

Kitab ini adalah karya sebagian para ‘ulama tentang nāsikh mansūkh dalam adīth diantaranya:
a.       Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, Abû Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hâni’ al-Thâ’i -al-Atsram- (261 H). Sistematika penulisan yang digunakan oleh al-Atsram adalah sistematika fikih, ia memulai penulisannya dari Bab Orang yang tidak melakukan shalat karena lupa atau tidur.
b.      Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, Abû Hafsh Umar bin Ahmad bin Syâhîn (385 H). Dalam karya ini, Ibn Syâhîn juga menggunakan sistematika penulisan yang hamper sama dengan al-Atsram, yakni sistematika fikih. Hanya saja Ibn Syâhîn memulainya dengan pembahasan Thahârah.
c.       Al-I’tibâr fi al-Nâsikh wa al-Mansûkh fi al-Atsar, Muhammad bin Mûsâ bin Utsmân bin Hâzim  (584 H). Penulis karya ini juga mengikuti sistematika karya sebelumnya, yaitu sistematika dengan metode fikih. Dan dimulai dengan pembahasan tentang Thahârah.
d.      Rusûkh al-Ahbâr Fi Mansûkh al-Akhbâr, Abû Ishâq Burhanuddin al-Ja’bari (722 H). al-Ja’barî memulai penulisannya pada bab al-Miyâh (bentuk plural dari al-Mâ’ yang artinya air).[vi]
Aplikasi Nāsikh Mansūkh dalam Hadis
“ Shalat Batal Karena Melintasnya Perempuan, Anjing dan Keledai “
عن أبى هريرة قال قل رسول ا لله  صلى الله عليه وسلم : يقطع الصلاة المراة والحمار والكلب
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah,  “ bahwa Rasulullah Saw. Bersabda : “ shalat terputus karena melintas (dihadapannya) seorang perempuan, keledai, dan Anjing. (HR. Muslim)[vii]
عن أبى ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قام أحدكم فإنه يستره إذا كان بين يديه مثل اخرة الرحل فإذ ا لم يكن بين يديه مثل اخرة الرحل فإنه يقطع الصلاته الحمار و المراة والكلب الاسود قلت يا أبا ذر مابال الكلب الاسود من الاحمر من الكلب من الكلب الأصفر قال يا ابن اخي سألت رسول الله عليه وسلم كما سألتني فقال الكلب الاسود شيطان
Kedua hadis ini menunjukan bahwasannya melintasnya salah satu dari antara tiga yaitu perempuan, keledai dan anjing hitam itu dapat membatalkan shalat. Anas bin Malik dan Ibnu Umar (kalangan sahabat), al-Hasan (tokoh tabiin) dan Imam Ahmad bin Hambal seorang Imam Mujtahid berpendapat seperti ini. Kedua hadis ini mansūkh atau di batalkan oleh hadis- hadis berikut ini :

عن عبد الله بن عباس أنه قال أقبلت راكبا على حمار أتان وأنا يومءد قد ناهزت الإحتلام ورسول الله عليه وسلم يصلى باالناس بمن إلى غير جدار فمررت بين يدي بعض الصف فنزلت وأرسلت الأتان ترتع ودخلت فى الصف فلم ينكر ذلك علي أحد
Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa : “ ketika usia ku menjelang remaja, aku menghadap kepada Rasulullah Saw. dalam keadaan berada diatas kendaraan keledai betina, sedangkan beliau shalat mengimami jama’ah di Mina tanpa pelindung dan pembatas. Lalu aku melintas di hadapan sebagian shaf dan aku melepaskan keledaiku untuk mencari rumput di sekitar shaf itu, ternyata beliau tidak mencelaku” (HR. Bukhari) [viii]

عن عا ءشة رضي الله عنها قالت : كان رسول الله عليه وسلم يصلي صلاته من الليل معترضة بينه وبين القبلة اعتراض الجنازة فإذا اراد أن يوتر أيقظني فأوترت
Artinya : Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radihiyallahu ‘anha, bahwa: “ Rasulullah Saw. shalat pada suatu malam dan aku melentangkan diriku seperti terlentangnya jenazah dihadapan beliau, sehingga jika ingin melanjutkan shalatnya, beliau membangunkanku, lalu melanjutkan lagi shalatnya. (H.R Bukhari)[1]

عن عا ءشة رضي الله عنها قالت : كان رسول الله عليه وسلم يصلي من الليل وانا راقدة معترضة بينه وبين القبلة على فراشه فإذا أراد أن يوتر أيقظنى فأوترت
Artinya : Rasulullah Saw. Shalat pada satu malam dan aku menelentangkan diriku diatas tikar shalatnya, sehingga jika ingin melanjutkan shalat, beliau membangunkanku, lalu melanjutkan lagi shalatnya “ (HR. Nassa’i )

Kedua hadis ini menjelaskan bahwa anjing, keledai, atau perempuan yang melintas di hadapan orang shalat tidak merusak. Kedua hadis ini muhkam dan me-nasakh atau membatalkan terhadap hadis terdahulu diatas. Kedua hadits ini muncul kemudian dan terakhir dibandingkan dengan hadis Abu Hurairah dan Abu Dzarr, sebab hadis ini terjadinya ketika haji wada’.[ix]
Sejalan dengan pendapat Imam Al-Syafi’i  dalam kitab Ikhtilāf al-Hadīs yaitu terdapat dalam Bab Orang yang lewat di depan orang yang shalat ( باب من المرور بين يدي المصلى  )  hadis tersebut merupakan bagian dari hadis-hadis yang bertentangan (mukhtālif) kemudian Imam Al-Syafi’i menyelesaikan hadis tersebut dengan metode nāsikh mansūkh. Adapun pendapat Imam Al-Syafi’i  bahwasannya wanita, keledai dan anjing hitam itu tidak merusak shalat dan tidak bisa dijadikan alasan untuk memutuskan atau membatalkan shalat ketika  semua ataupun salah satu dari ketiga tersebut yaitu wanita, keledai dan anjing hitam melintasi orang yang sedang shalat. Adapun Kaidah yang di pakai oleh ImamAl-Syafi’i adalah  sebagai berikut :
انه لا يبطل عمل رجل عمل غيره[x]
“ Sesungguhnya  tidak membatalkan amal seseorang oleh amal yang lainnya “
“ Larangan Ziarah Kubur Kepada Perempuan “
                                                                                                                                                                        حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa : “Rasulullah Saw. Bersabda : Allah melaknat para perempuan peziarah kubur” (HR. Turmudzi).[xi]
Pengertian laknat dalam hadits tersebut mungkin mengandung arti ziarah mereka dengan peraktek haram, seperti meratapi. Ada juga yang berpendapat, kemungkinan artinya ialah sering ziarah kubur. Oleh karena itu yang dilarang ialah banyak ziarah kubur bagi perempuan.[xii]
Menurut sebagian ulama, bahwa ziarah kubur bagi perempuan hukumnya makruh, karena perempuan kurang sabar, dan mudah serta banyak sedihnya.
Hadis ini mansūkh atau dibatalakn oleh hadis berikut  :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمِ النَّبِيلُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar dan Mahmud bin Ghailan dan Al Hasan bin Ali Al Khallal mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim An Nabil telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat."
Ulama mengamalkannya mereka berpendapat bahwa ziarah kubur tidak mengapa. Ini adalah pendapat Ibnu Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq"
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال:  مر النبي صلى الله عليه وسلم بامرأة عند قبر وهي تبكي فقال اتقي الله واصبري
Artinya : “ Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa “ Nabi Saw. Melewati seorang perempuan diatas kuburnya yang tengah menangis, lalu beliau menegur dengan sabdanya : “Bertawakalah kepada Allah dan Sabarlah “.
عن عاءشة رضي الله عنها قالت كيف أقول لهم يارسول الله قال قولي السلام على اهل الديار من المومنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وانا إن شاء الله بكم للاحقون
Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa : “ Apa yang ku baca wahai Rasulullah, jika ziarah kubur? Beliau bersabda : “ Bacalah : semoga keselamatan atas penghuni kubur dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim dan semoga Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita dan mereka yang akan menyusul. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian “ (HR. Muslim)[xiii]
            Hadis-hadis ini menunjukan bahwa boleh menziarahi kubur, baik laki-laki maupun perempuan. Berikut pendapat para ulama mengenai hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi :
-          Al-Mubarakfuri Pengarang Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan Al-Turmudzi
“ kebolehan ziarah kubur, setelah sebelumnya dilarang adalah sebagai rukhsah atau keringanan. Kebolehan itu meliputi laki-laki dan perempuan“
-          Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Ashqolani (852H/1477M)
“ pendapat yang semacam Al-Mubarakfuri yang  dipegang oleh banyak ulama, beliau menambahkan, kebolehan itu, jika perempuan terbebas dan aman dari fitnah (bahaya).
-          Al-Qari dalam al-Marqah
“ setelah menyebut hadis-hadis diatas , mengatakan : ‘illat atau tujuan dibolehkannya ziarah kubur dalam hadis-hadis diatas menunjukan hukum ziarah kubur bagi laki-laki dan perempuan sama saja, jika terpenuhi syarat-syarat bagi mereka. Adapun pengertian dilaknat Allah ialah pejarah yang melakukan perbuatan-perbutan yang dilarang, meratapi dan sebagainya.
-          Al-Qurthubi (671 H)
Mengatakan bahwa pengertian “laknat” dalam hadis tersebut adalah ziarah kubur yang terlalu sering. [xiv]
            Dengan demikian dari beberapa pemaparan ulama mengenai pengertian “laknat” dalam hadis tersebut bahwasannya ziarah kubur diperbolehkan bagi laki-laki maupun perempuan yang dapat memenuhi syarat-syarat ziarah kubur. Yaitu tidak melakukan hal-hal yang diharamkan, meratapi dan terlalu sering menziarahi. Dari sini saya menyimpulkan bahwa hadis ini sebenarnya tidak bertentangan, sejalan dengan pendapat Al-Imam Al-Syafi’i bahwasannya “  pada prinsifnya tidak ada hadis yang bertentangan “.
  1. PENUTUP
SIMPULAN :
Berdasarkan pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa adanya nāsikh mansūkh harus dilatar belakangi terlebih dahulu oleh adanaya hadis-hadis yang bertentangan. Dan hadis-hadis tersebut tidak dapat dikompromikan lagi hingga akhirnya dari hadits tersebut harus ada yang dihapus. Adapun nāsikh mansūkh sendiri memiliki syarat-syarat tertentu yang tidak dapat ditinggalakan karena Nāsikh mansūkh  tidak bisa dilakukan dengan sembarangan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mubarakfuri. Tuhfah al-Ahwadzi Syarah al-Turmudzi,  Ditashih oleh Abd al-Rahman Usman, Muhammad, (Kairo : Mathba’ah al-Madaniy,1383H/1963 M),
El-haq-pos.blogspot.com/2012/10/ilmu-nasikh-dan-mansukh-lengkap-html
Izzuddin Husain as-Syekh, Mukhtasar al-Nasikh Fi Hadits, ( Jakarta : Pustaka Firdaus 2007)
Muhammad bin Idris Al-Syafi’i,Ikhtilaf al-Hadits, (Bairut :  Dar-al-kitab al-Ilmiyyah ), (1406 H/1986M), juz III..h. 97-101
Muḥammad ‘ Ajaj al-Khatib, uṣul al-Hadīth ‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut : Darul Fikr, 1989
Syekh Manna al-Qhaththan Mabahis fi Ulumil Qur’an. (kairo : Maktabah Wahbah),Cet Ke-13,2004
Mukhtasarshahih MuslimTahqiq Muhammad Nashiruddin al-BaniKitabal-Shalah Bab Qadr Ma Yastur al-Mushalla.
Mukhtasar Shahih-Bukhari Tahqiq Ibrahim Barkah Kitab as-Shalah Khalaf an-Nā’im
Hasyim, Ahmad Umar, Qawa’id Ushūl al-Hadits, (Beirut : Dar- al Kutub al- ‘Ilmiyah,1994 m)
Al-Hāzimī, al-I’tibar Fī al-Nāsikh Wa al-Mansūkh Min Athār, (Hams : Mathba’ah al-Andalus,1966)







[i] Ahmad Umar Hasyim, Qawa’id Ushūl al-Hadits, (Beirut : Dar- al Kutub al- ‘Ilmiyah,1994 m)h.5
[ii] Al-Hāzimī, al-I’tibar Fī al-Nāsikh Wa al-Mansūkh Min Athār, (Hams : Mathba’ah al-Andalus,1966),h.7
[iii] Syekh Manna al-Qhaththan, Mabahis fi Ulumil Qur’an. (kairo : Maktabah Wahbah),Cet Ke-13,2004.h.285
[iv]-El-haq-pos.blogspot.com/2012/10/ilmu-nasikh-dan-mansukh-lengkap html
[v]http://www.bimbie.com/nasikh-dan-mansukh.htm
[vi] Muhammad ‘ Ajaj al-Khatib, usul al-Hadīth ‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut : Darul Fikr, 1989). 
[vii]Mukhtasarshahih MuslimTahqiq Muhammad Nashiruddin al-BaniKitabal-Shalah Bab Qadr Ma Yastur al-Mushalla.h. 75. Hadits no.250
[viii] Mukhtasar Shahih Bukharial-Bukhari Tahqiq Ibrahim Barkah Kitab as-Shalah Khalaf an-Nā’im,h.87, No.68
[ix]I Izzuddin Husain as-Syekh, Mukhtasar al-Nasikh Fi Hadits, ( Jakarta : Pustaka Firdaus 2007)h. 51-54
[x]Muhammad bin Idris Al-Syafi’i,Ikhtilaf al-Hadits, (Bairut :  Dar-al-kitab al-Ilmiyyah ), (1406 H/1986M), juz III..h. 97-101
[xi] Al-Mubarakfuri. Tuhfah al-Ahwadzi Syarah al-Turmudzi,  Ditashih oleh Abd al-Rahman Muhammad Usman(Kairo : Mathba’ah al-Madaniy,1383H/1963 M),Cet II
[xii] Ibid.Izzuddin Husain as-Syekh, Mukhtasar al- Nasikh Fi Hadits, ( Jakarta : Pustaka Firdaus 2007)h.80
[xiii] Ibid.Izzuddin Husain as-Syekh, Mukhtasar al- Nasikh Fi Hadits, ( Jakarta : Pustaka Firdaus 2007)h.80 - 81
[xiv] Op Cit.Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi. (Kairo : Math’ba al-Madany, 1963 M, Cet II ),h.1061