Sabtu, 02 Juni 2018

HADIS MENURUT SYI’AH : PRESPEKTIF JA’FAR AL-SUBHANI




HADIS MENURUT SYI’AH :
PRESPEKTIF JA’FAR AL-SUBHANI



Oleh : 

Ulfah Zakiyah

 (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) 



A.    Pendahuluan

Sunnah atau yang lebih dikenal dengan hadis memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat Islam. Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Dikatakan demikian, karena dalam sejarah umat Islam (dari dahulu sampai sekarang) ada kalangan yang hanya berpegang kepada al-Qur’an dalam menjalankan agamanya.[1]
 Hadis memiliki sejarah yang panjang dan unik sebagaimana dari tradisi oral menjadi tradisi tulisan. Selain itu pengkodifikaisan hadis pun melalui proses yang cukup  panjang yang diwarnai persaingan politik dikalangan umat Muslim. Seperti halnya tradisi hadis dikalangan Sunni dan Syi’ah berbeda. Hal ini terlihat dari pengertian akan hadis sendirinya pun berbeda antara Sunni dan Syi’ah sehingga kriteria pengambilan ataupun kwalitas antara hadis Sunni dan Syi’ah berbeda karena beda pemahaman dalam mengambil suatu hadis.
Seperti halnya Ja’far al-Subhani salah satu tokoh ulama Syi’ah yang memiliki peran yang cukup besar dalam masyarakat Syi’ah khususnya. Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana Hadis dalam prespektif Ja’far al-Subhani yang merupakan salah satu tokoh Syi’ah yang terkemuka.


B.     Pengertian Hadis dalam Prespektif Syi’ah
Pengertian hadis dikalangan Sunni adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat-sifat beliau berupa sifat fisik, moral maupun perilaku dan hal itu baik sebelum ataupun seseudah beliau menjadi Nabi. [2] Sedangkan  dalam konsep Syi’ah bukan hanya perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun sifat Nabi Muhammad Saw saja namun ditambahkan mengikuti suatu hadis dari salah seorang Imam dua belas, mereka berpendirian bahwasannya keimanan dan imamah terbatas pada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Imamah menurut Syi’ah adalah bentuk dari perintah Tuhan, sebagaimana kenabian, maka dalam pertunjukannya merupakan perintah Allah dan Allah berhak menghendaki diantara hamba-Nya . Terdapat perbedaan antara pengertian Nabi dan Imamah, Nabi adalah pendiri dari sebuah risalah sedangkan Imamah penjaga dari risalah. Jadi berdasarkan hal ini yang memegang kendali pemerintah dan keagamaan sepeninggal Rasulullah menurut Sy’ah adalah orang-orang yang terpelihara dari setiap kesalahan dan disucikan dari segala dosa dan kekurangan (maksum) agar ia menjadi suri tauldan bagi umatnya.[3]
Ulama fikih Syi’ah Imamiyah memposisikan perkataan para Imam ma’sum (suci dari dosa) dari kalangan ahlul bait, seperti halnya perkataan Nabi Muhammad Saw sebagai sebuah argumen yang wajib diikuti oleh para penganutnya. Jadi definisi Sunnah menurut Syi’ah Imamiyah yaitu perkataan, perbuatan, ketetapan para Imam ma’sum. [4] Lain halnya dengan Syi’ah Zaidiah mengartikan Sunnah. Sehingga Sunni dan Syi’ah pun memiliki perbedaan dalam kitab rujukan utama hadis jika Sunni kitab monumental  hadisnya adalah Shahih Bukhari karya Imam Bukhari sedangkan kitab rujukan utama hadis Syi’ah adalah kitab al­-Kafi karya al-Kulaini.[5]
Syi’ah sering kali dituduhkan mempercayai hadis-hadis yang berbeda dengan yang dipercayai Ahlus Sunnah. Hal ini sungguh terbantahkan oleh sedikitnya alasan, dalam buku Syiah Menurut Syi’ah sebgai berikut :
Pertama,  meski diriwayatkan dengan rantai periwayatan yang berbeda, banyak sekali hadis Syi’ah yang memiliki persamaan kandungan dengan hadis yang beredar dalam kalangan Ahlus Sunnah. Hal ini mudah terlihat bagi orang-orang yang terbiasa membaca buku-buku Syi’ah dan Ahlus Sunnah sekaligus.
Kedua, tak jarang penulis Syi’ah menggunakan hadis-hadis yang beredar dikalangan Ahlus Sunnah. Contoh yang menonjol dalam hal ini adalah 20 jilid buku Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an Muhammad Husein Thabathaba’i ataupun karya Ayatullah Murtadha Muthahari yang terjemahnya banyak beredar di Indonesia. [6]
Ketiga, amat banyak rijal hadis dikalangan Syi’ah yang riwayatnya diterima diberbagai kitab shahih dikalangan Ahlus Sunnah. Diantaranya adalah Aban Ibn Taghlib, Ibrahim Ibn Yazid Ibn Umar, Ismail Ibn Abban Al-Azdi Al-Kufi Al-Warraq, Ismail Ibn Khalifah Al-Mulai Al-Kufi, Talid Ibn Sulayman Al-Kufi, Al-A’raj, Thabith ibn Dinar, ‘Abdullah ibn Daud, Ali Ibn Shalih dan masing banyak perawi lainnya.

C.    Pengumpulan dan Penulisan Hadis dalam Prespektif Syi’ah
Di kalangan Syi’ah, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa Syi’ah meyakini sumber hadis tidak hanya terletak pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Secara doktrinal, sumber hadis di kalangan Syi’ah berbeda dengan ortodoks muslim. Sumber hadis tidak hanya sebatas dari ucapan dan perbuatan Nabi, tetapi mencakup semua ucapan dan perilaku para imam ma’shum, termasuk ucapan Fatimah binti Muhammad SAW karena termasuk dalam khitab ahl al-Bait yang dijamin kesuciannya oleh wahyu.
Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadis telah berkembang sejak zaman Nabi SAW. Sebagaimana juga diyakini oleh Sunni. Namun Syi’ah hanya meyakini apa yang pernah ditulis oleh ‘Ali bin Abi Thalib. Beliau mendiktekan hadis-hadis kepada ‘Ali ra. Yang kemudian ditulis dalam lembaran-lembaran dan disimpan dalam sarung pedangnya. Tatkala Rasulullah wafat, Ali ra. memeliharanya dengan baik. Sahifah itu kemudian dikenal dengan “sahifah ‘Ali”. Selain sahifah, yang umumnya memuat hukum diyat dan beberapa persoalan lainnya, Rasulullah saw. juga mendiktekan kepada ‘Ali ra. hadis-hadis lain yang disalin ke dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar yang kemudian dikenal dengan nama al-Jami’ah.[7]
Pada masa kegaiban Imam Mahdi, para pengikut Ahl al-Bait berusaha membukukan kembali hadis-hadis yang sempat tercecer. Mereka memulai dari kitab-kitab yang masih tersisa, melalui periwayatan langsung dari orang ke orang hingga sampai pada Rasulullah SAW, atau sampai ke salah satu imam dua belas. Hadis-hadis itu diantaranya telah dibukukan oleh Abu Rafi’ al-Qibti al-Shi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam, dan al-Qadaya.[8]
Pada tahap berikutnya, para ulama Syi’ah berusaha untuk membukukannya ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis utama yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba’ah, yakni: al-Kafi, Man la Yahduruh al-Faqih, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min Akhbar.[9]
D.    Klasifikasi Hadis Syi’ah
Dalam hal pembagian hadis, puak Usuliyyah memiliki cara tersendiri dan berbeza dengan sunni, menurut mereka hadis terbagi menjadi dua jenis hadits, yaitu hadis Mutawatir dan hadis Ahad. Hadis Mutawatir versi Syiah ini sebenarnya tidak jauh berbeza dengan kalangan sunni, yakni hadis yang diriwayatkan oleh sebuah sekumpulan (jama'ah) yang mencapai bilangan yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan salah [10]. Hadis seperti ini adalah hujjah dan harus dijadikan landasan dalam beramal.
Sedangkan hadis Ahad, adalah hadis yang tidak mencapai derajat tawatur, rawi yang diriwayatkannya satu atau lebih [11]. Definisi ini tidak jauh berbeza dengan definisi Ahli Sunnah, Kemudian. Perlu disebutkan bahawa syiahpun mengklasifikasikan hadis ke beberapa jenis hadis sebagaimana dalam metodologi Ahli Sunnah, dan dalam kajian hadis Syiah metodologi pembagian hadis baharu dikenal pada masa imam Ahmad bin Tawus yang wafat pada tahun 673 Hijrah. Pada masa sebelumnya hadis dibagi kepada dua bagian saja, iatu hadis sahih dan hadis daif. Oleh karena itu syiah terpaksa mengakui ketebelakangannya dalam metodologi hadis, hal ini diakui oleh Ayatullah Syed Hasan al-Sadr beliau menyatakan bahawa Ahmad bin Tawus adalah orang yang merumuskan dan mengarang istilah dan pembagian hadis syiah kepada Sahih, Hasan, Muwats-tsaq dan da’if [12].
Dengan demikian jelas bahwa syiah tidak mengenal pembagian hadis sahih, hasan, muwats-tsaq, dan da’if sebelum datangnya sang peletak rumusan hadis (imam Ahmad bin Tawus), hal ini disebabkan karena adanya keyakinan bahawa sebagian riwayat yang ada dalam kitab hadis mu’tamad mereka adalah sahih seratus peratus. Oleh karena itu syiah imamyah Akhbariyah telah membatasi hanya empat kitab mu’tamad sahaja, adalah :
1.    Kitab “Al-Kafi”, yang ditulis oleh Al-Kulaini (Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq).
2.      Tahdzib Al-Ahkam, karangan Abu Ja’far At-Thusi (Muhammad bin

Hasan bin ‘Ali).
3.      Ketiga: Al-Istibshar, juga dikarang oleh Abu Ja’far At-Thusi. ((Muhammad bin Hasan bin ‘Ali).

4.      Keempat: Man La Yahduruhul Faqih, oleh Ibnu Babawaih Al-Qummi (Abu

Ja’far, Muhammad bin Ali bin Husain bin Musa).

E.     Biografi Ja’far Al-Subhani
Ja’far al-Subhani lahir pada tanggal 28 Syawal tahun 1347 di kota Tabriz, Iran. Ja’far al-Subhani merupakan putra salah satu ulama terkenal dengan ketakwaan dan kezuhudan yakni Muhammad Husein Subhani Khiyabani, keluarga Ja’far al-Subhani merupakan keluarga ulama yang terkenal.
Setalah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar, beliau masuk kesekolah agama tradisional dibawah pengawasan Mirza Mahmud Fadil, putra Fadil Muraghi, salah satu murid Syeikh Ansari. Di sekolah agama yang lazim disebut maktab ini Ja’far Al-Subhani belajar sastra Persia. Diantara buku-buku yang dipelajarinya adalah Gholestan, Bustan, Tarikh e-Mu’jam, Nishabus Shibyan, Abwabul Jinan dan yang lainnya. [13] Setelah menginjak usia empat belas tahun, pada tahun 1361 H, Subhani muda masuk ke Madrasah Ilmiah Talibiyah kota Tabriz untuk menimba dasar-dasar ilmu agama Islam sampai ke tingkat sutuh.[14]
Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat sutuh pada tahun 1369 H, beliau masuk ke jenjang bahtsul kharij ilmu fiqih dan usul. Pada jenjang ini beliau berguru pada ulama-ulama besar seperti:
-          Ayatullah al-Uzma Burujerdi (1292-1380  H) bab waktu shalat.
-          Ayatullah Sayid Muhammad Hujjat Kuhkamari (1301-1372  H )
-          Ayatullah al-Uzma Imam Khomeini (1320-1409 H) babIstishhab dalam bidang usul fiqih.[15]
F.     Karya-karya Ja’far Al-Subhani
Ja’far al-Subhani merupakan salah satu ulama Syi’ah yang disegani di lingkungan masyarakat Syi’ah karena kecerdasannya. Berikut karya-karya tulis Ja’far al-Subhani diantaranya sebagai berikut :
1.      Kitab Ushul Hadits wa al-Ahkam
2.      Kitab Kulliyat fi ilmi al-Rijal
3.      Kitab Buhuts fi al-Mihal wa al-Mihal
4.      Kitab ‘Ain Wahabiyat
5.      Kitab Ilahiyyat ‘ala Huda al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Aqli
6.      Kitab Al-Syi’ah fi al-Mawqib al-Tarikh
7.      Kitab Al-Bada fi ‘Alami al-Kitab wa al-Sunnah
8.      Kitab Al-Syafa’ah fi al-Kitab
9.      Kitabal Nahabiyah fi al-Mizan
10.  Kitab al-Ziarah fi al-Kitab wa al-Sunnah
11.  Kitab al-Tawasul al-Mafhumuhu wa Aqsamuhu waWukmuhu
12.  Kitab Madriyah al-Ma’rifah al-Madal Ila al’ilmi wa al-Falsafah
13.  Kitab al-I’isham fi al-Kitab wa al-Sunnah
14.  Buku The Messege
15.  Rislah fi Tahsin wa Taqbih al-Aqliyaini
Itulah hanya beberapa karya Ja’far al-Subhani, selain itu masih banyak yang penulis belum  cantumkan. Hal ini menunjukan bahwasannya Ja’far al-Subhani merupakan salah satu ulama Syi’ah yang sangat produktif. Ja’far al-Subhani tidak hanya fokus dengan ilmu hadis saja namun dengan dispilin ilmu yang lain juga, hal ini terlihat dari karya-karyanya yang lain.
G.    Adalah dan Dhabith dalam Prespektif Ja’far Al-Subhani
1.      Adalah
Berbicara pemikiran ataupun hadis dalam prespektif Ja’far al-Subhani tentu tidak akan lepas dari aliran Syi’ah karena Ja’far al-Subhani merupakan salah satu tokoh ulama Syi’ah, hal ini tentu akan sangat mempengaruhi bagaimana caranya memahami hadis. Karena hal ini jelas terlihat Syi’ah dan Sunni memiliki perbedaan dalam mendefinisikan pengertian dari hadis tersendiri.
Begitu pula dengan Ja’far al-Subhani sebagai  tokoh Syi’ah, Ja’far Subhani mengatakan bahwa ada perbedaan pendapat dalam pemahaman dan menentukan sarat-sarat ‘adalah para periwayat.Pendapat yang masyhur tentang ‘adalah periwayat itu adalah orang yang memiliki jiwa yang kokoh, berpegangan teguh dengan ketakwaannya, meninggalkan perbuatan dosa-dosa besar serta berketetapan hati untuk tidak melakukan dosa-dosa kecil.[16] Syarat-syarat lain yang termasyhur dan kriteria ‘Adalah seorang periwayat yaitu berakhlak baik. Periwayat yang ‘Adalah dapat terindikasi dalam segala perbuatan anggota tubuhnya sehari-hari.[17] Periwayat yang bersifat ‘adalah itu merupakan syarat bagi diterimanya sebuah Hadits yang diriwayatkan melalui para imam yang ‘Adalah yang riwayat sanadnya itu bersambung pada Imam yang ma‘sum, meskipun tidak harus memenuhi seluruh tingkatan tabaqah melainkan cukup sebagian saja asalkan riwayat sanadnya bersambung.[18] Ja’far Subhani mengatakan bahwa para periwayat yang bersifat ‘Adalah itu adalah syarat yang utama bagi diterimanya sebuah Hadits yang diriwayatkan melalui para imam.
Berikut kriteria ‘adalah bagi seorang perowi menurut Ja’far Subhani adalah:
a.       Beragama Islam
Sudah menjadi kesepakatan bahwa Hadis yang diriwayatkan dari orang kafir sudah tentu tidak diterima, apapun statusnya. Ja’far Subhani mengatakan bahwa hadis harus bersumber dari orang Islam yang x riwayatnya dinukil dari para imam yang dua belas yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.[19]
b.      Berakal
Riwayat yang diterima dari seorang yang tidak waras akan condong kepasda sesuatu yang mencacatkan dan merusak hadis sekalipun apa yang dikatakannya mengandung suatu kebenaran.[20]
c.       Baligh
Menurut Ja’far Subhani riwayat suatu hadis yang bersumber dari anak kecil yang belum tertaklifi oleh hukum tidak diterima riwayatnya.[21]
d.      Bermadzhab Syiah Imamiah
Syarat terakhir bagi periwayat yang ‘adalah adalah harus bermadzhab syi’ah imamiyah karena semua persyaratan periwayat ‘adalah itu sebagai keutamaan para imam.[22] Ja’far Subhani juga mengatakan bahwa periwayat yang keluar dari jalur imamiyah dilarang kecuali apabila orang tersebut benar-benar teruji ketsiqqahannya.[23]
2.      Dhabith
Seorang periwayat betul-betul telah hafal dengan baik Hadits yang diriwayatkan, mengerti dan hafal riwayat tersebut baik secara hafalan maupun tulisannya.Seorang periwayat juga harus mengetahui hal-hal yang bisa menyebabkan tercela atasnya, mengetahui hal maknatersirat suatu Hadits.[24] Menurut beliau bahwa Dhabth bagi seorang periwayat itu adalah bukan tujuan yang utama, tetapi hanya sekedar memungkinkan untuk diambil dalam meriwayatkan suatu Hadits.Tujuan utama bagi seorang periwayat Hadits adalah adalah ‘Adalah, sebab setiap yang ‘Adalah pasti Dhabth tetapi tidak semua yang Dhabth itu memenuhi kriteria ‘Adalah.[25]
Kriteria yang disebut di atas harus keluar dari orang-orang yang tsiqah, sementara orang bisa dikatakan tsiqah menurut beliau harus memenuhi paling tidak satu dari tiga kriteria di bawah ini, yaitu;
a. Orang yang hafal terhadap Hadits
b. Bermazhab Imamiyah
c. Harus bersifat ‘Adalah dan di satu sisi juga harus muttafaq ‘alaih) atau paling tidak disepakati oleh dua orang periwayat dari salah satu Imam yang dua belas. Syekh Ja’far Subhani merinci nama-nama orang yang tsiqah dikalangan Syi’ah yang riwayat Haditsnya bisa diterima adalah:
1) Abdullah binYakub
2) Al-Mufadal bin Umar
3) Yunus bin Ya’kub
4) Ali bin Mujib
5) Abdul Aziz bin Muhtadi
6) Muhammad bin Isa
7) Khulaini dari Abdullah bin Ja’far bin Khumaini
8) Al-Khulaini bin Abi Ishak bin Ya’qub
9) Abu Hammad ar-Razi
10)A1-Kasyi dari Qashim bin A’la
11)A1-Barqy bin Abdillah
12)Al-Mufid bin Abdul Aziz dari Mesir
13)A1-Barqy dari Jabir Abi Khalaf
14)Ahmad bin Abi Khalaf dari Abi Ja’far
15)Hasyim al-Ja’fari
16)Muhammad bin Ibrahim
17)Hamid bin Muhammad al-Azdy
18)Sa’ad bin Abdillah al-As’ari
19)Abdillah a1-Kufi
20)Ibnu Udzainah dari ‘Aban bin Abi Iyas.
Demikianlah para perawi yang menurut Ja’far Al-Subhani bisa diterima riwayatnya dengan kredibilitas ke dhabitannya.



Kesimpulan

Perbedaan mendasar antara Sunni dan Syi’ah dan kali ini Ja’far Al-Subhani yang memposisikan sebagai tokoh ulama Syi’ah yaitu terletak pada sumber utama hadis dan persoalan verifikasi terhadap keotentikan hadis. Pertama, tentang sumber hadis. Syi’ah beranggapan mengenai tidak terhentinya wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw dan masih tetap mengakui adanya hadis yang bersumber dari keturunan Nabi, khususnya dari Ali, bahkan para imam juga dianggap dapat mengeluarkan hadis. Kedua, kaitannya dengan persoalan verifikasi kesahihan hadis, para ulama Syi’ah dalam kajian sanad suatu hadis telah memberikan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Di antaranya: Bersambung sanadnya kepada yang ma’sum, Seluruh periwayat dalam sanad berasal dari kelompok Syiah dalam semua tingkatan, dan seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil dan dhabit.




























DAFTAR PUSTAKA


Khon, Majid. Ulumul Hadis. Jakarta : Pusat Studi Wanita, 2005.

Mustfa Yaqub,Ali. Kritik Hadis .Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008

Allamah, Tabataba’i, Islam Syi’ah : Asal Usul Perkembangan, Jakarta: Temprit, 1989.

Mustafa Rafi’i, Islam Kita : Titik Temu Sunni –Syi’ah . Jakarta: Milestone Publiser, 2013.

Nisa, Khairul Mudawinun , Hadis dikalangan Sunni ( Shahih Bukhari) an Syi’ah (Kitab Al-Kafi al-Kulaini)  Jurnal An-Nuha Vol 3, No 1. Juli 2016

Tim Ahlul Bait,  Syiah Menurut Syiah. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia, 2014.

I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.

Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1990), Juz 1

 Eliade, Mircea. The Encyclopedia of religion, Vol. 6  . New York: Macmilian Publishing Company, 1997.

Al-Islam.Org, Biography Ayatulah Ja’far Subhani. https://www.al-islam.org/islamic-moral-system-commentary-surah-hujurat-jafar-subhani/biography-ayatullah-jafar-subhani. Diakses pada tanggal 17 Desember 2017.

Muhammad ‘Ajj aj al- Khatib, Ushul  al-Hadits .Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Zain., Y.s, diakses pada 16 Februari 2005 dari http://www.al-ahkam Al- Khatib, Ushul al-Hadits
Subhani, Ja’far. Usul al-Hadis wa ahkamuhu fi ‘Ilmi al-Dirayat, (Qum: Al-Nasyr alIslami, 2001.
Al-Sayyid, Kamal.  The Companions of the Prophet and Their Followers. Qom: Ansariyan Publications, 2000.
Husein Ya’qub, Ahmad. Nazariyyah ‘Adalah al-Shahabah, (Qom: Anshariyan Publication, 1996).
Yuslem, Nawir.  Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Suber Widya, 2003.


[1] Majid Khon dkk,  Ulumul Hadis (Jakarta : Pusat Studi Wanita, 2005), h. 201
[2] Ali Mustfa Yaqub, Kritik Hadis  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h.33.
[3] Allamah, Tabataba’i, Islam Syi’ah : Asal Usul Perkembangan,(Jakarta: Temprit, 1989), h. 11.
[4] Mustafa Rafi’i, Islam Kita : Titik Temu Sunni –Syi’ah (Jakarta: Milestone Publiser, 2013), h.87
[5] Khairul Mudawinun Nisa’, Hadis dikalangan Sunni ( Shahih Bukhari) an Syi’ah (Kitab Al-Kafi al-Kulaini)  Jurnal An-Nuha Vol 3, No 1. Juli 2016 h. 42
[6] Tim Ahlul Bait,  Syiah Menurut Syiah (Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia, 2014), h. 73.
[7] I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
[8] Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1990), Juz 1, hlm. 3.
[9] Mircea Eliade, The Encyclopedia of religion, Vol. 6  (New York: Macmilian Publishing Company, 1997), hlm. 150-151.
2   [10] Lihat: Zainuddin al-‘Amili, al-Dirayah, 1/125. Dan bandingkan dengan definisi Al-Suyuti dalam kitab

[11] Lihat: Zainuddin al-‘Amili, al-Dirayah, 1/5. AL-Mazindarani, Miqyas al-Riwayah, 32. Dan bandingkan dengan definisi Ibnu Jama’ah dalam kitab “Al-Manhal al-Rawi”, 32.
5  [12] Hasan al-Sadr, Ta’sis al-Syiah li Al-Ulum al-Islamiyah, 295.

[13] Al-Islam.Org, Biography Ayatulah Ja’far Subhani. https://www.al-islam.org/islamic-moral-system-commentary-surah-hujurat-jafar-subhani/biography-ayatullah-jafar-subhani. Diakses pada tanggal 17 Desember 2017.
[14] Muhammad ‘Ajj aj al- Khatib, Ushul  al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 377.
[15] Zain, Y.s, diakses pada 16 Februari 2005 dari http://www.al-ahkam 36 Al- Khatib, Ushul al-Hadits, h. 377-379. 37 Ibid,hlm.17.
[16] Ja’far Subhani, Usul al-Hadis wa ahkamuhu fi ‘Ilmi al-Dirayat, (Qum: Al-Nasyr alIslami, 2001), h. 133-134
[17] Ya’qub,Nazhariyyah ‘Adalah  al-Shahabah, h. 20, 23-24.
[18] Kamal al-Sayyid, The Companions of the Prophet and Their Followers (Qom: Ansariyan Publications, 2000).
[19] Kamal al-Sayyid, The Companions, hlm. 131-132.
[20] Ahmad Husein Ya’qub, Nazariyyah ‘Adalah al-Shahabah, (Qom: Anshariyan Publication, 1996), hlm. 54.
[21] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Suber Widya, 2003), hlm. 109-110.
[22] Muhammad ‘Ajjaj Al-Katib, Ushul al Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 380-381.
[23] Muhammad ‘Ajjaj Al-Katib, Ushul al Hadis,h. 133.
[24] Muhammad ‘Ajjaj Al-Katib, Ushul al Hadis,h.135
[25] Muhammad ‘Ajjaj Al-Katib, Ushul al Hadis,h. 36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar