Nāsikh Mansūkh
(
Kontekstualisasi Hadits
Larangan Ziarah Kubur Kepada Perempuan )
Oleh
:
Ulfah
Zakiyah
Abstract
:
This
paper will discuss nāsikh
mansūkh understanding,
Nāsikh mansūkh terms, history of nāsikh mansūkh, way
know nāsikh mansūkh, and followings the example. Nāsikh mansūkh is settlement method part from hadits-hadits
that conflict ( Mukhtālif
).
A.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Hadis merupakan sumber kedua hukum islam setelah
al-Qur’an, hadis memiliki peranan yang sangat penting dalam ranah syari’at
Islam. Selain itu Hadis memiliki peranan juga sebagia penjelas
bahkan terkadang merupakan pembatas dari hukum dalam al-Qur’an yang bersifat
mujmal. Namun tidak jarang kita temui hadis-hadis yang bertentangan tentu akan
membuat kita bertanya-tanya mengapa hadīts ini bertentanagn bukankah hadis itu sebagai rujukan hukum kedua setelah al-Qur’an. Apa
lagi ketika hadis-hadis tersebut mengatakan hukum islam itu tidak konsisten.
Dari dulu sampai sekarang mengenai ziarah kubur memang
terdapat ikhtilāf ada yang mengatakan ziarah kubur bagi perempuan itu boleh ada
juga yang mengatakan tidak boleh. Masing-masing dari kedua kubu ini memiliki
alasan dan dalil tersendiri. Adapun Makalah ini akan mencoba memafarkan nāsikh
mansūkh dengan contoh hadis “ Larangan Ziarah Kubur Kepada Perempuan “
Permasalahan
Dalam menyikapi
hadis-hadis yang bertentangan para ulama berbeda-beda dalam menyelesaiakannya
ada yang langsung menasikh ada juga yang mentakwil, mentarjih bahkan menjama.
Adapun persoalan dalam hadis ini ialah makna “ laknat “ dalam hadis yang
Rasulullah Saw. melarang perempuan untuk ziarah. Dan makna dilarangnya
perempuan ziarah kubur.
Sistematika
Penulisan
Secara keseluruhan tulisan ini terdiri dari sub bahasan,
dimulai dari pengertian nāsikh mansūkh, sejarah nāsikh mansūkh, syarat-syarat
nāsikh mansūkh, pendafat ulama mengenai nāsikh mansūkh, faktor-faktor nāsikh
mansūkh, urgensi mempelajari nāsikh mansūkh dan pengaplikasian dalam
kontektualisasi suatu hadis.
B.
PEMBAHASAN
Pengertian Nāsikh mansūkh
Secara etimologi naskh dipergunakan untuk arti izalah
(menghilangkan). Sedangkan secata terminologi nāsikh adalah mengangkat
(menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lainn. Disebutkannya kata “hukum” disini, menunjukan
bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” tidak termasuk yang di nāsikh.
Kata-kata dalil hukum syara’ mengeculaikan pengangkatan (penghapusan) hukum
syara’ yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma atau
qiyas.
Sejarah
Nāsikh Mansūkh
Nāsikh Mansūkh telah ada semenjak Nabi Muhammad Saw.
masih ada, namun pada masa Rasulullah Saw. ilmu nāsikh mansūkh belum dibukukan.
Mengenai siapa ulama yang pertama mengkodifikasi Ilmu Nāsikh Mansūkh terdapat
ikhtilaf dikalangan ulama ada yang menyebutkan Imam Al-Syafi’i dan adapula yang
menyebutkan Al-Zuhrī.
Ilmu Nāsikh Mansūkh muncul ketika Imam
Al-Syafi’i membuat menulis
karya monumentalnya, Al-Risâlah. Memang benar bahwa jauh sebelum al-Syâfi’î, para
sahabat sudah membicarakan tentang Nâsikh danMansûkh sebagaimana
yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Berarti Ilmu Nāsikh Mansūkh
baru menjadi sebuah disiplin ilmu ketika Abad ke-2 H.
Sedangkan, Al-Zuhrī berkata : “ yang paling memberatkan dan yang paling
menguras tenaga bagi ahli fiqih adalah membedakan hadis yang telah dimansūkh
dengan hadis yang menāsikhnya.[i]
Berdasarkan pernaytaan diatas al-Hāzimī berpendapat bahwa Ibn Syibāh
al-Zuhrīlah ulama yang pertama kali menggagas nāsikh mansūkh dalam ‘Ulūm al-
Hadīth. Perkataan ini juga didukung oleh pendapat Al-Zuhrī : “ Ilmu ini “
nāsikh mansūkh “ belum pernah dikodifikasi oleh seseorangpun sebelum aku. “ [ii]
Syarat-syarat Naskh Mansukh :
1.
Hukum yang dināsikh adalah hukum syara’
2.
Ada Hadis yang bertentangan dan bertolak belakang
3.
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah ikhtibar syar’i
yang datang lebih kemudian dari kitab yang hukumnya dimansukh
4.
Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak
terkait (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika demikian maka hukum akan
berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nāsikh.[iii]
Untuk mengetahui nāsikh dan mansūkh
terdapat beberapa cara :
1. Keterangan
tegas dari nabi Muhammad Saw atau sahabat, seperti hadits :
“aku (dulu) pernah melarang berziarah kubur, maka (kini)
berziarah kuburlah” (H.R Al-Hakim)
2. Ijma’ Umat
bahwa hadits ini nāsikh
dan yang itu mansūkh
3. Mengetahui
mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
Pendapat Ulama Mengenai Nāsikh mansūkh :
1.
Menurut jumhur ulama tidak ada perselisihan mengenai nāsikh
mansūkh, karena ada nash yang menjelaskan diperbolehkannya nāskh mansūkh
yaitu dalam al- Qur’an ( Q.S Al-Baqarah : 106)
Adapun menurut saya pribadi berdasarkan pemaparan nāsikh mansūkh diatas saya dapat simpulkan bahwa
yang memiliki otoritas penuh dalam meNāsikh mansūkh adalah nabi Muhammad Saw. Karena yang
mengeluarkan haditslah yang berhak menghapus hadits tersebut pula. Adapun ulama hanya berupaya sebagai mujtahid berdasarkan
syarat-syarat nasih mansukh yang telah disepakati ulama.
Otoritas
nāsikh mansūkh :
1.
Rasulullah Saw
2.
Sahabat
3.
Ijma’
Berdasarkan pemaparan dosen fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta yakni Rifqi Muhammad Fathi, MA
nāsikh mansūkh bisa terjadi akibat dari beberapa faktor, berikut diantaranya faktor-faktor yang bisa terjadi nasikh-mansukh
:
1.
Adanya sejarah dari hadis mana yang lebih dahulu dan mana
yang lebih belakangan .
Mengetahui hadits mana yang lebih dahulu dan mana yang
lebih belakangan tentunya harus dilihat
terlebih dahulu hadits tersebut berdasarkan historisnya (sejarah). Dan
hadits yang datang belakanganlah yang akan menāsikh hadis yang lebih dahulu.
2.
Yang dipraktek dan yang tidak dipraktekan ( معمول به >< غير معمول به )
Adapun faktor yang kedua yang memungkinkan terjadinya Nāsikh
mansūkh ialah faktor hadits yang
diperaktekan dengan hadits yang tidak diperktekan. Tentu hadits yang
diperaktekanlah yang lebih kuat dari pada yang tidak dipraktekan dalam manasikh
sebuah hadis.
3.
Mutawatir berlawanan Ahad
Ketika menemukan hadits-hadits yang di duga berlawanan
satu dengan yang lainnya, maka ketika akan
menasikh sebuah hadits tent ulah harus memperhatikan hadits itu mutawatir atau
ahad. Sedangkan, telah kita ketahui bahwa Hadist mutawatir lebih kuat dari
hadits ahad maka dalam Nāsikh mansūkh pun yang lebih kuat untuk menaskh sebuah
hadits ialah hadits mutawatir
4.
Sedangkan menurut Mahmud Thahan menambahkan faktor Nāsikh
mansūkh yaitu tempat keluar hadits
tersebut seperti nuzulnya al-Qur’an yaitu dilihat dari Makkah atau Madinah.
Urgensi Mempelajari Nāsikh-Mansūkh
1. Hukum
Nāsikh Mansūkh adalah demi kemaslahatan umat manusia
2. Agar
proses pembentukan syari’at menjadi sempurna dengan adanya perkembangan dakwah
Islam serta tidak terlepas dari kondisi umat Islam.
Kitab-kitab Yang
Membahas Nāsikh Mansūkh
Kitab ini adalah karya sebagian para ‘ulama tentang nāsikh mansūkh
dalam ḥadīth diantaranya:
a.
Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, Abû Bakr Ahmad bin
Muhammad bin Hâni’ al-Thâ’i -al-Atsram- (261 H). Sistematika penulisan yang
digunakan oleh al-Atsram adalah sistematika fikih, ia memulai penulisannya dari
Bab Orang yang tidak melakukan shalat karena lupa atau tidur.
b.
Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, Abû Hafsh Umar bin
Ahmad bin Syâhîn (385 H). Dalam karya ini, Ibn Syâhîn juga menggunakan
sistematika penulisan yang hamper sama dengan al-Atsram, yakni sistematika
fikih. Hanya saja Ibn Syâhîn memulainya dengan pembahasan Thahârah.
c.
Al-I’tibâr fi al-Nâsikh wa al-Mansûkh fi
al-Atsar,
Muhammad bin Mûsâ bin Utsmân bin Hâzim (584 H). Penulis karya ini
juga mengikuti sistematika karya sebelumnya, yaitu sistematika dengan metode
fikih. Dan dimulai dengan pembahasan tentang Thahârah.
d.
Rusûkh al-Ahbâr Fi Mansûkh al-Akhbâr, Abû Ishâq Burhanuddin
al-Ja’bari (722 H). al-Ja’barî memulai penulisannya pada bab al-Miyâh (bentuk
plural dari al-Mâ’ yang artinya air).[vi]
Aplikasi Nāsikh Mansūkh dalam Hadis
“ Shalat Batal Karena Melintasnya Perempuan, Anjing dan
Keledai “
عن أبى هريرة قال
قل رسول ا لله صلى الله عليه وسلم : يقطع
الصلاة المراة والحمار والكلب
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
“ bahwa Rasulullah Saw. Bersabda : “ shalat terputus karena melintas
(dihadapannya) seorang perempuan, keledai, dan Anjing. (HR. Muslim)[vii]
عن أبى ذر قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قام أحدكم فإنه يستره إذا كان بين يديه مثل اخرة
الرحل فإذ ا لم يكن بين يديه مثل اخرة الرحل فإنه يقطع الصلاته الحمار و المراة
والكلب الاسود قلت يا أبا ذر مابال الكلب الاسود من الاحمر من الكلب من الكلب
الأصفر قال يا ابن اخي سألت رسول الله عليه وسلم كما سألتني فقال الكلب الاسود
شيطان
Kedua hadis ini menunjukan
bahwasannya melintasnya salah satu dari antara tiga yaitu perempuan, keledai
dan anjing hitam itu dapat membatalkan shalat. Anas bin Malik dan Ibnu Umar
(kalangan sahabat), al-Hasan (tokoh tabi’in) dan Imam Ahmad bin Hambal seorang Imam Mujtahid berpendapat
seperti ini. Kedua hadis ini mansūkh atau di batalkan oleh hadis- hadis berikut ini :
عن عبد الله بن عباس أنه قال أقبلت راكبا على حمار أتان
وأنا يومءد قد ناهزت الإحتلام ورسول الله عليه وسلم يصلى باالناس بمن إلى غير جدار
فمررت بين يدي بعض الصف فنزلت وأرسلت الأتان ترتع ودخلت فى الصف فلم ينكر ذلك علي
أحد
Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa : “ ketika
usia ku menjelang remaja, aku menghadap kepada Rasulullah Saw. dalam keadaan
berada diatas kendaraan keledai betina, sedangkan beliau shalat mengimami
jama’ah di Mina tanpa pelindung dan pembatas. Lalu aku melintas di hadapan
sebagian shaf dan aku melepaskan keledaiku untuk mencari rumput di sekitar shaf
itu, ternyata beliau tidak mencelaku” (HR. Bukhari) [viii]
عن عا ءشة رضي الله عنها قالت : كان رسول الله عليه وسلم
يصلي صلاته من الليل معترضة بينه وبين القبلة اعتراض الجنازة فإذا اراد أن يوتر
أيقظني فأوترت
Artinya : Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radihiyallahu ‘anha,
bahwa: “ Rasulullah Saw. shalat pada suatu malam dan aku melentangkan diriku
seperti terlentangnya jenazah dihadapan beliau, sehingga jika ingin melanjutkan
shalatnya, beliau membangunkanku, lalu melanjutkan lagi shalatnya. (H.R
Bukhari)[1]
عن عا ءشة رضي الله عنها قالت : كان رسول الله عليه وسلم
يصلي من الليل وانا راقدة معترضة بينه وبين القبلة على فراشه فإذا أراد أن يوتر
أيقظنى فأوترت
Artinya : “ Rasulullah Saw. Shalat pada satu malam dan aku
menelentangkan diriku diatas tikar shalatnya, sehingga jika ingin melanjutkan
shalat, beliau membangunkanku, lalu melanjutkan lagi shalatnya “ (HR. Nassa’i )
Kedua hadis ini menjelaskan bahwa
anjing, keledai, atau perempuan yang melintas di hadapan orang shalat tidak merusak. Kedua hadis
ini muhkam dan me-nasakh atau membatalkan terhadap hadis terdahulu diatas.
Kedua hadits ini muncul kemudian dan terakhir dibandingkan dengan hadis Abu Hurairah
dan Abu Dzarr, sebab hadis ini
terjadinya ketika haji wada’.[ix]
Sejalan dengan pendapat Imam
Al-Syafi’i dalam kitab Ikhtilāf
al-Hadīs yaitu terdapat dalam Bab Orang yang lewat di depan orang yang
shalat ( باب من المرور بين
يدي المصلى ) hadis tersebut merupakan bagian dari hadis-hadis
yang bertentangan (mukhtālif) kemudian Imam Al-Syafi’i menyelesaikan hadis
tersebut dengan metode nāsikh mansūkh. Adapun pendapat Imam
Al-Syafi’i bahwasannya wanita, keledai dan anjing hitam
itu tidak merusak shalat dan tidak bisa dijadikan alasan untuk memutuskan atau
membatalkan shalat ketika semua ataupun salah
satu dari ketiga tersebut yaitu wanita, keledai dan anjing hitam melintasi
orang yang sedang shalat. Adapun Kaidah yang di pakai oleh ImamAl-Syafi’i
adalah sebagai berikut :
“
Sesungguhnya tidak membatalkan amal
seseorang oleh amal yang lainnya “
“ Larangan Ziarah Kubur Kepada Perempuan “
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ
عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, bahwa : “Rasulullah Saw. Bersabda : Allah melaknat para perempuan peziarah
kubur” (HR. Turmudzi).[xi]
Pengertian
laknat dalam hadits tersebut mungkin mengandung arti ziarah mereka dengan peraktek haram, seperti meratapi. Ada juga yang berpendapat,
kemungkinan artinya ialah sering ziarah kubur. Oleh karena itu yang dilarang
ialah banyak ziarah kubur bagi perempuan.[xii]
Menurut
sebagian ulama, bahwa ziarah kubur bagi perempuan hukumnya makruh, karena
perempuan kurang sabar, dan mudah serta banyak sedihnya.
Hadis
ini mansūkh atau dibatalakn oleh hadis berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ قَالُوا حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمِ النَّبِيلُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ
أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ
الْآخِرَةَ
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar dan Mahmud
bin Ghailan dan Al Hasan bin Ali Al Khallal mereka berkata; Telah menceritakan
kepada kami Abu 'Ashim An Nabil telah menceritakan kepada kami Sufyan dari
'Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya pernah melarang
kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi
kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat
mengingatkan akhirat."
Ulama
mengamalkannya mereka berpendapat bahwa ziarah kubur tidak mengapa. Ini adalah
pendapat Ibnu Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq"
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: مر النبي صلى الله عليه وسلم بامرأة عند قبر وهي
تبكي فقال اتقي الله واصبري
Artinya : “ Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,
bahwa “ Nabi Saw. Melewati seorang perempuan diatas kuburnya yang tengah
menangis, lalu beliau menegur dengan sabdanya : “Bertawakalah kepada Allah dan
Sabarlah “.
عن عاءشة رضي الله عنها قالت كيف أقول لهم يارسول الله قال قولي السلام على
اهل الديار من المومنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وانا إن
شاء الله بكم للاحقون
Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa : “ Apa yang ku baca wahai
Rasulullah, jika ziarah kubur? Beliau bersabda : “ Bacalah : semoga keselamatan
atas penghuni kubur dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim dan semoga
Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita dan mereka yang akan
menyusul. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian “ (HR. Muslim)[xiii]
Hadis-hadis ini menunjukan bahwa
boleh menziarahi kubur, baik laki-laki maupun perempuan. Berikut pendapat para
ulama mengenai hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi :
-
Al-Mubarakfuri Pengarang Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan
Al-Turmudzi
“
kebolehan ziarah kubur, setelah sebelumnya dilarang adalah sebagai rukhsah atau
keringanan. Kebolehan itu meliputi laki-laki dan perempuan“
-
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Ashqolani (852H/1477M)
“
pendapat yang semacam Al-Mubarakfuri yang
dipegang oleh banyak ulama, beliau menambahkan, kebolehan itu, jika
perempuan terbebas dan aman dari fitnah (bahaya).
-
Al-Qari dalam al-Marqah
“
setelah menyebut hadis-hadis diatas , mengatakan : ‘illat atau tujuan
dibolehkannya ziarah kubur dalam hadis-hadis diatas menunjukan hukum ziarah
kubur bagi laki-laki dan perempuan sama saja, jika terpenuhi syarat-syarat bagi
mereka. Adapun pengertian dilaknat Allah ialah pejarah yang melakukan
perbuatan-perbutan yang dilarang, meratapi dan sebagainya.
-
Al-Qurthubi (671 H)
Mengatakan
bahwa pengertian “laknat” dalam hadis tersebut adalah ziarah kubur yang terlalu
sering. [xiv]
Dengan demikian dari beberapa
pemaparan ulama mengenai pengertian “laknat” dalam hadis tersebut bahwasannya
ziarah kubur diperbolehkan bagi laki-laki maupun perempuan yang dapat memenuhi
syarat-syarat ziarah kubur. Yaitu tidak melakukan hal-hal yang diharamkan,
meratapi dan terlalu sering menziarahi. Dari sini saya menyimpulkan bahwa hadis
ini sebenarnya tidak bertentangan, sejalan dengan pendapat Al-Imam Al-Syafi’i
bahwasannya “ pada prinsifnya
tidak ada hadis yang bertentangan “.
- PENUTUP
SIMPULAN :
Berdasarkan pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan
bahwa adanya nāsikh mansūkh harus dilatar belakangi terlebih dahulu oleh
adanaya hadis-hadis yang bertentangan. Dan hadis-hadis tersebut tidak dapat
dikompromikan lagi hingga akhirnya dari hadits tersebut harus ada yang dihapus.
Adapun nāsikh mansūkh sendiri memiliki
syarat-syarat tertentu yang tidak dapat ditinggalakan karena Nāsikh mansūkh tidak bisa dilakukan dengan sembarangan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mubarakfuri.
Tuhfah al-Ahwadzi Syarah al-Turmudzi,
Ditashih oleh Abd al-Rahman Usman, Muhammad, (Kairo : Mathba’ah
al-Madaniy,1383H/1963 M),
El-haq-pos.blogspot.com/2012/10/ilmu-nasikh-dan-mansukh-lengkap-html
Izzuddin Husain
as-Syekh, Mukhtasar al-Nasikh Fi Hadits, ( Jakarta : Pustaka Firdaus 2007)
Muhammad bin Idris
Al-Syafi’i,Ikhtilaf al-Hadits, (Bairut :
Dar-al-kitab al-Ilmiyyah ), (1406 H/1986M), juz III..h. 97-101
Muḥammad ‘ Ajaj
al-Khatib, uṣul al-Hadīth ‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut : Darul Fikr, 1989
Syekh Manna
al-Qhaththan Mabahis fi Ulumil Qur’an. (kairo : Maktabah Wahbah),Cet Ke-13,2004
Mukhtasarshahih
MuslimTahqiq Muhammad Nashiruddin
al-BaniKitabal-Shalah Bab Qadr Ma Yastur al-Mushalla.
Mukhtasar
Shahih-Bukhari Tahqiq Ibrahim Barkah Kitab as-Shalah Khalaf an-Nā’im
Hasyim, Ahmad Umar, Qawa’id Ushūl al-Hadits, (Beirut : Dar- al Kutub al- ‘Ilmiyah,1994 m)
Al-Hāzimī, al-I’tibar Fī al-Nāsikh Wa al-Mansūkh Min
Athār, (Hams : Mathba’ah al-Andalus,1966)
[i]
Ahmad Umar Hasyim, Qawa’id Ushūl al-Hadits,
(Beirut : Dar- al Kutub al- ‘Ilmiyah,1994 m)h.5
[ii] Al-Hāzimī, al-I’tibar Fī al-Nāsikh
Wa al-Mansūkh Min Athār, (Hams : Mathba’ah al-Andalus,1966),h.7
[iii]
Syekh Manna al-Qhaththan, Mabahis fi Ulumil Qur’an. (kairo : Maktabah
Wahbah),Cet Ke-13,2004.h.285
[v]http://www.bimbie.com/nasikh-dan-mansukh.htm
[vi]
Muhammad ‘ Ajaj al-Khatib, usul al-Hadīth ‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu,
(Beirut : Darul Fikr, 1989).
[vii]Mukhtasarshahih MuslimTahqiq Muhammad Nashiruddin al-BaniKitabal-Shalah Bab Qadr Ma Yastur
al-Mushalla.h. 75. Hadits no.250
[viii]
Mukhtasar Shahih Bukharial-Bukhari
Tahqiq Ibrahim Barkah Kitab as-Shalah Khalaf an-Nā’im,h.87, No.68
[ix]I
Izzuddin Husain as-Syekh, Mukhtasar al-Nasikh Fi Hadits, ( Jakarta : Pustaka
Firdaus 2007)h. 51-54
[x]Muhammad
bin Idris Al-Syafi’i,Ikhtilaf al-Hadits, (Bairut : Dar-al-kitab al-Ilmiyyah ), (1406
H/1986M), juz III..h. 97-101
[xi]
Al-Mubarakfuri. Tuhfah al-Ahwadzi Syarah al-Turmudzi, Ditashih oleh Abd al-Rahman Muhammad Usman(Kairo
: Mathba’ah al-Madaniy,1383H/1963 M),Cet II
[xii] Ibid.Izzuddin
Husain as-Syekh, Mukhtasar al- Nasikh Fi Hadits, ( Jakarta : Pustaka
Firdaus 2007)h.80
[xiii] Ibid.Izzuddin
Husain as-Syekh, Mukhtasar al- Nasikh Fi Hadits, ( Jakarta : Pustaka
Firdaus 2007)h.80 - 81
[xiv]
Op Cit.Al-Mubarakfuri, Tuhfah
al-Ahwadzi. (Kairo : Math’ba al-Madany, 1963 M, Cet II ),h.1061