Sabtu, 12 Desember 2015

KORUPSI DAN GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF AL-QU'AN

KORUPSI DAN GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF AL-QU'AN


Oleh :
Ulfah Zakiyah

PENDAHULUAN
            Permasalahan bangsa Indonesia kini bukanlah persoalan antara bangsa satu dengan bangsa lain. Dulu negara Indonesia adalah negara yang ratusan tahun di jajah oleh negara lain kini Indonesia telah memproklamirkan merdeka dari jajahan negara lain. Namun persoalan bangsa Indonesia kini ialah persoalan intern (dalam) yakni persoalan dalam karena bangsa indonesia dijajah oleh bangsanya sendiri yakni berupa  kasus korupsi di pemerintahan begitu marak terjadi, bahkan disebut-sebut korupsi ialah bukan hal yang asing lagi dan bahkan sudah mendarah daging.
            Seperti halanya kasus korupsi yang menyeret Akil Mukhtar sebagai ketua Mahkamah Konsstitusi, Ratu Atut sebagai Gubernur Banten, Annas Urabaningrum, Ahmad Fathanah dan para elit politik lainnya.
Ironisnya persoalan  korupsi atau gratifikasi kini tidak hanya terjadi di elit politik saja, namun kini persoalan korupsi sudah semakin menjalar kesemua lapisan penjuru bangsa Indonesia. Tidak hanya dipemerintahan saja melainkan dibagian yang lainpun sudah mulai tumbuh. Namun yang paling ironis ialah bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam merupakan negara terkorup ke empat di dunia, padahal dalam Islam perilaku hal-hal buruk seperti korupsi ialah seuatu yang diharamkan bahkan dicela habis-habisan, namun mengapa bangsa Indonesia yang mayoritas masyartaktnya muslim begitu banyak yang melakukan korupsi atau gratifikasi. Untuk itu kami  akan memaparkan pengertian dari korupsi dan gratifikasi, ayat-ayat hukum tentang larangan korupsi dan garatifikasi serta ancaman bagi yang melakukannya.






PEMBAHASAN
A.    Pengertia Korupsi (Ghulul)
Korupsi sebagai penomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan dan kenegaraan yang dapat menimbulkan kerugian di berbagai bidang. Korupsi berasal dari kata Latin corruption atau koroptus, kemudian muncul dari bahasa Inggris dan Prancis : corruption, dalam bahasa Belanda korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi.[1]
Dalam istilah Bahasa Arab kata korupsi banyak mempunyai kesepadanan kata : diantaranya adalah ghulul dan risywah. Yang secara etimologi kata ghulul berasal dari kata ghalala-yaghlulu. Ia merupakan masdar invinitive atau verbal noun. Ada beberapa pola dari masdar ghulul yang semuanya diartikan oleh Ibn Manzur dengan arti sangat kehausan dan kepanasan.[2] Secara lebih spesifik dikemukakan dalam Mu’jam al-Wasith bahwa kata ghulul berasal dari kata ghalala-yaghulu  yang berarti harta rampasan peranga atau dalam harta yang lain.
Sedangkan, menurut Imam al-Ghazali ghulul adalah perbuatan mengambil sesuatu bukan pada haknya. Hal tersebut haram seperti halnya perbuatan seorang penguasa yang dholim yang korupsi karena Nabi telah menetapkan keharaman berbuat ghulul dalam hadisnya. Selain itu ghulul pula dapat di kategorikan sebagai perbuatan fasad (kerusakan di muka bumi) , yang juga dikutuk Allah SWT.  perbuatan ghulul merupakan perbuatan jahat yang bertentangan dengan nilai Islam.[3]
Korupsi merupakan jenis tindak pidana yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.[4] Pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat dilihat dalam Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1) sebagai barikut :
1.      Dihukum karena tindak pidana korupsi adalah:
a.       Barangsiapa yang melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara, dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b.      Barangsiapa dengan bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c.       Barangsiapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.
d.      Barangsipa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan megingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e.       Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.[5]
Itulah gambaran dari sebuah pelanggaran hukum yang mana dalam hal ini adalah korupsi yang merupakan sebuah tindak pidana. Yang hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang KUHP mengenai ancaman dan hukuman bagi para koruptor.
Ketidak jujuran, kezaliman, penghianatan dan penyimpangan dari kesucian itu juga merupakan bentuk dari korupsi. Korupsi dianggap sebagai pelanggaran dari amanah karena perbuatan korupsi merupakan perbuatan atau tindakan yang menyalahgunakan kepercayaan yang ditumpahkan kepadanya.
Dosa dan kemungkaran menghianati kewajiaban-kewajiaban yang paling keji adalah berkhianat terhadap agama dan jam’iyatul muslimin. Stabilitas negara akan terganggu olehnya. Sabda Rasul Saw.: Apabila nanti dihari kiamat Allah akan menghimpun antara orang-orang terdahulu dan terakhir, maka Allah akan menaikkan bendera bagi tiap-tiap orang yang berkhianat itu untuk dapat dikenalnya. Lalu dikatakan, inlah penghianatan sifulan”. (HR. Bukhari) Dan juga sabda Rasul saw.: Tiap-tiap orang yang berkhianat itu akan diberi bendera dekat pantatnya, yang akan dinaikkan setinggi khianatnya itu. Ketahuilah bahwa tidak ada penghianat yang lebih besar selain khianatnya terhadap masyarakat”.(HR. Muslim).
Yaitu khianat yang paling besar dan akibatnya yang paling buruk, ialah khianat seseorang yang diserahi urusan umat lalu dia mengabaikan urusan (amanat) itu hingga berantakan.
Salah satu bentuk dari amanat yang lain adalah seorang yang diberi jabatan, lalu jabatan itu digunakan untuk kepentingan pribadi atau keluarga atau kelompok tertentu. Sesungguhnya mengeruk kekayaan dari harta umat itu seudah merupakan tindak kriminal dengan kata lain tindak pidana korupsi.[6] Yang sudah lazim dikalangan kita adalah setiap pemerintah atau perusahaan memberi upah tertentu kepada pegawainya. Oleh karena itu usaha mendapatkan tambahan dengan jalan yang menyimpang dari ketentuan, adalah sama dengan bekerja dengan jalan dosa.[7]
Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang telah kami angkat sebagai pegawai dalam suatu pekerjaan, lalu kami memberinya upah tertentu kemudian selain itu dia juga mengambil yang lain, maka ia itu penipu.”(HR. Abu Dawud)
Kenapa dikatakan penipu? Karena mereka mengambil harta yang bukan haknya, yamg semestinya hak umat yang lemah dan fakir, dan harta tersebut yang semestinya dipergunakan untuk kemaslahatan bersama. Sesuai dengan Firman Allah Swt :
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ/ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 §NèO 4¯ûuqè? @à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÊÈ  
Artinya: Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS.Ali Imran [3]: 161)
Adapun sebab nuzul ayat ini yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata , “ Kaum muslim kehilangan selimut beludru dalam peristiwa Badar. Mereka mengatakan kemungkinan rasulullah Saw. telah mengambilnya. “ Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat : “tidaklah layak bagi seorang nabi berkhianat “ yakni korupsi. Ini merupakan penyucian terhadap diri Nabi Saw. dari segala aspek penghianatan dalam menjalankan amanat, membagikan ghanimmah dan lain sebagainya.
Kemudian Allah berfirman “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. “ Ini merupakan intimidasi yang keras dan ancaman yang tegas. Dalam sunnah pun terdapat beberapa hadis yang melarang pengkhianatan, diantaranya sebagai berikut : “ Korupsi yang paling besar menurut pandangan Allah ialah sejengkal tanah. Kamu melihat dua orang yang tanahnya atau rumahnya berbatasan. Kemudian salah seorang dari keduanya mengambil sejengkal dari miliki saudaranya itu . maka jika dia mengambilnya, akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada hari kiamat. “ (HR. Ahamad).[8]
Syekh As-Sa’adi dalam Kitab  Tafsir Al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan mengatakan bahwa : janganlah kalian mengambil harta sebagain kalian artinya harta selain kalian., Allah menyandarkan harta itu kepada mereka, karena sepatutnya seorang muslim mencintai dirinya sendiri, ia menghormati hartanya sebagaimana dihormati, dan karena tindakannya memakan harta orang lain membuat orang lain akan berani memakan hartanya saat ia mampu. Dan ketika tindaknnya memakan harta itu ada dua macam, yaitu  pertama dengan hak dan yang kedua dengan batil, dan diharamkan dari kedua tersebut yaitu ketika memakan harta orang lain dengan cara yang batil, maka Allah membatasinya dengan hal tersebut.
Termasuk dalam hal itu adalah memakan harta orang lain dengan cara memaksa, pencurian, pengkhianatan pada suatu titipan, atau pinjaman atau sebagainya. Dan termasuk pengambilan dengan cara barter yaitu barter yang diharamkan, seperti akad riba, perjudian secara keseluruhan, semua hal itu adalah cara memakan harta orang lain dengan cara batil, karena bukan termasuk pertukaran yang diperbolehkan, termasuk juga kecurangan dalam jual beli dan kecurangan penyewaan dan lain sebagainya.[9]
 Dalam ayat yang lianpun dijelaskan larangan memakan harta dengan jalan yang batil, sebagimana firman Allah :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. “ (QS. An-Nissa’ : 29).[10]
Adapun asbab al-nuzul ayat ini adalah ketika sahabat Anas bin Malik juga mengatakan: Rasulullah tidak berkhotbah kepada kami melainkan beliau berkata, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak beramanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memenuhi janji”.[11]
Allah melarang para hamba-Nya yang beriman dari memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil, hal ini mencakup memakan harta dengan cara memaksa, pencurian, mengambil harta dengan jalan perjudian, dan pencarian yang hina bahkan bisa jadi hal ini juga memakan harta sendiri dengan cara yang sombong dan berlebih-lebihan, karena hal tersebut adalah termasuk kebatilan bukan dari kebenaran. Kemudian setelah Allah mengharamkan memakan harta dengan cara yang batil, Allah membolehkan bagi mereka memakan hartanya dengan cara perniagaan dan pencarian yang tidak terdapat padanya penghalang-penghalang dan mengandung syarat saling ridho dan sebagainya.[12]
Para koruptor tersebut termasuk orang yang menyalahi janji. Sedangkan menyalahi janji termasuk satu dari tanda orang munafik.  Meskipun secara syar’i tidak berarti mereka keluar dari Islam, yang jelas mereka tidak akan pernah memiliki kesempurnaan Islamnya, karena ketiga sifat tersebut merupakan cerminan atas kebohongan. Ucapan dan tindakannya tidak akan pernah selaras dengan apa yang diyakini dalam hatinya. Kebiasaan buruk dalam mengumbar janji yang tidak disertai dengan kesungguhan hati untuk memenuhinya, merupakan perbuatan yang sangat dibenci Allah Swt.[13]Allah Swt berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 šcqä9qà)s? $tB Ÿw tbqè=yèøÿs? ÇËÈ   uŽã9Ÿ2 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB Ÿw šcqè=yèøÿs? ÇÌÈ  
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ (QS. As-Shaaf: 2-3)
Jika kita melihat penjelasan diatas, Betapa Allah dan Rasul-Nya sangat benci dan marah terhadap orang-orang yang menyalahi janji mereka yakni para koruptor yang menghianati amanah yang dipercayakan kepada mereka.
Mereka adalah pemimpin yang seharusnya bekerja untuk kemaslahatan masyarakat, mensejahterakn rakyat dan menjadi pengayom bagi rakyatnya. Tetapi kenapa mereka menghiati rakyatnya sendiri dengan melakukan korupsi, memperkaya diri. Akibatnya rakyat menjadi sengsara dan menderita.
Mereka-mereka itulah yang nantinya akan sengsara di akhirat kelak, karena akibat perbuatan mereka sendiri. Sebagaimana Firman Allah Swt :
¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»oYçRùQ$# Îû Ï8ö¤$!$# È@xÿóF{$# z`ÏB Í$¨Z9$# `s9ur yÅgrB öNßgs9 #·ŽÅÁtR ÇÊÍÎÈ  
Artinya: “ Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. “  (QS. Al-Nisa’ [4]: 145)
¨bÎ) ©!$# ßìÏB%y` tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# tûï̍Ïÿ»s3ø9$#ur Îû tL©èygy_ $·èŠÏHsd ÇÊÍÉÈ  
Artinya: “ Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.(QS. Al-Nisa’ [4]: 140)
Padahal jaminan bagi Pemimpin yang adil dan amanah itu adalah naungan dan surga. Seperti dijelaskan dalam hadis Nabi SAW.. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ra, “ Bahwa ada 7 golongan yang akan mendapatkan naungan di akhirat kelak yang dimana pada hari itu tiada naungan, yang salah satunya adalah “Pemimpin yang adil (jujur dan amanah tidak menyalani janji) “
Sungguh besar balasan bagi Pemimpin yang amanah, yaitu berupa naungan, surga dan pertolongan diakhirat kelak. Tetapi sebaliknya sungguh celaka dan merugi bagi para pemimpin yang tidak amanah, yang menyalahi janjinya yang berani melakukan korupsi memperkaya diri. Maka tempat meraka nanti itu adalah neraka. Mereka mengingkari perintah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memerintahkan untuk berbuat adil, jujur, amanah dan tidak menyalahi janji. Orang-orang yang mengabaikan dan mengingkari perintah dan peringatan dari Allah dan Rasul-Nya maka kehidupannya akan disempitkan oleh Allah didunia dan kelak dihari kiamat mereka dalam keadaan buta. Sesuai dengan Firman Allah SWT :
ô`tBur uÚtôãr& `tã ̍ò2ÏŒ ¨bÎ*sù ¼ã&s! Zpt±ŠÏètB %Z3Y|Ê ¼çnãà±øtwUur uQöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4yJôãr& ÇÊËÍÈ
Artinya: Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta. (QS. Thaaha: 124)
B.     Gratifikasi (Risywah)
1.      Pengertian Gratifikasi
Risywah berasal dari kata rasya yang berarti al-ja’lu (menyuap). Ibn al-Atsir mengatakan rasywah adalah sesuatu yang menyampikan pada keperluan dengan jalan menyogok.[14] Al-Ra’isy adalah orang yang memberikan risywah secara batil. Sedangkan al-murtasyi adalah orang yang mengambil risywah dan al-Ra’isy adalah orang yang bekerja sebagai perantara risywah yang meminta tambah atau minta kurang.
Berdasarkan kamu hukum, gratifikasi berasal dari bahasa Belanda “gratificatie “ yang berarti hadiah uang tau pemberian uang., sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia garatifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji, dan pengertian gratifikasi daalm kamus hukum yang membatasi pada uang yang berupa uang seperti extra pay, bonus, allowance (uang bantuan).[15]
Yang dimaksud risywah (suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah II/7819).
Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. (Lihat Al-Misbah Al-Munir I/228).
Sedangkan Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak semestinya). (Lihat An-Nihayah Fi Gharibil Hadits II/546).
Dari beberapa pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.
Atau bisa juga kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah pemberian apa saja berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
Praktik suap-menyuap atau yang sering diistilahkan dengan “uang pelicin” atau ”uang sogok” meskipun telah diketahui dengan jelas keharamannya, namun tetap saja gencar dilakukan oleh sebagian orang, demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang bersifat duniawi. Ada diantara mereka yang melakukan suap-menyuap untuk meraih pekerjaan, jabatan, pemenangan hukum, tender atau proyek hingga untuk memasukan anak ke lembaga pendidikan pun tak luput dari praktik suap-menyuap. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam, padahal jelas-jelas imam dan panutan kaum muslimin, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengutuk dengan keras para pelaku suap-menyuap itu. 
2.      Hukum Gratifikasi dalam Tinjuan Syari’ah
Praktik suap menyuap di dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil syar’i berupa Al-Qur’an, Al-Hadits, dan ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.
Terdapat banyak dalil syar’i yang menjelaskan keharaman suap menyuap, di antaranya adalah sebagai berikut:
a.    Dalil Al-Qur’an :
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”. (QS. Al-Maidah: 42).
Di dalam menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud radliyallahu’anhuma dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-suhtu (sesuatu yang haram) adalah risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
Berkenaan dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”. (Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah XI/437).
Penafsiran ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah ayat 188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Ali bin Abi Thalib bercerita dari Ibnu Abbas mengenai seseorang yang menguasai harta kekayaan namun tidak memiliki bukti kepemilikannya. Maka dia memanipulasi harta itu dan mengadukannya kepada hakim, sedang dia mengetahui bahwa harta itu bukan haknya dan dia pun mengetahui bahwa dirinya berdosa lantaran memakan barang haram. Sebagian ulama shalaf mengatakan, janganlah anda mengadukan persoalan sedang  anda mengetahui bahwa anda itu dzalim.
            Ayat  diatas menunjukan bahwa ketetapan hakim tidak mengubah karakteristik perkara. Hakim tidak dapat menghalalkan perkara haram yang berkarakter haram dan ia tidak menghalalkan perkara halal yang berkarakter halal, karena ia hanya berpegang teguh pada zahirah saja. Jika sesuai maka hal itulah yang dikehendaki, dan jika tidak sesuai, maka hakim tetap beroleh pahala dan bagi yang bermuslihat adalah dosanya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat tersebut.[16]
Sedangkan Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.”[17] Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami rahimahullah mengatakan, “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”. (Lihat Az-Zawajir ‘An Iqtirof Al-Kaba-ir, karya Haitsami I/131).
  1. Dalil dari Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, diantaranya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
Dari Abu Hurairah radliyallahu ’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum.” (HR. Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban XI/467 no.5076. Dan dinyatakan Shohih  oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2212).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan dinyatakan Shohih  oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2211).
عن ثوبان قال : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dan diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya.” (HR. Ahmad V/279 no.22452. namun sanad hadits ini dinyatakan Dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani di dalam Dho’if At-Targhib wa At-Tarhib II/41 no.1344).
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya diancam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Laknat dari Allah. Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah memasukkan suap ke dalam dosa besar yang ke-32.
  1. Dalil Ijma’
Para ulama telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap menyuap secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani, semoga Allah merahmati mereka semua. [18]
Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharamannya.[19]
Imam Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkan Ijma’, baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).[20] (Lihat Subulus Salam II/24).
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap termasuk dosa besar karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap, sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. ”[21]







PENUTUP
-          Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi dan gratifikasi merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan beretentangan dengan ajaran agama Islam baik al-Qur’an maupun hadis. Korupsi dan gratifikasi merupakan perbuatan yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun merugikan orang lain bahkan sekelompok orang bahkan masyarakat luas.
-          Kritik dan Saran
Seperti dalam sebuah peribhasa “ Tidak ada gading yang tidak retak “ begitu pula dengan makalah kami yang masih jauh dari kesempurnaan untuk itu kami meminta kritik dan sarannya yang bersifat membangun untuk  perbaikan makalah kami di masa yang akan datang.












DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi, Tafsir Al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan (Tafsir As-Sa’adi), Jilid 1, (Riyadh : Dar-Ashimah, 1999),
Al-Qurthubi, Jami li Al-Ahkam Al-Qur’an, Jilid IV ,  Beirut : Dar al-Fikr, 1999.
Semma, Mansyur  ”Negara dan Korupsi “, Jakarta : Tp, 2008.
Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Jilid II, Beirut : Dar Shadir, 2000.
Abu Hamid Al-Ghazali, Muhammad  Ihya Ulumuddin, Juz 2.
Zulfaroni : “ Hadis-hadis tentang hadiah dan Sogok “
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As’Sa’adi, Tafsir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, Jilid 2, Jakarta : Pustaka Sahifa, 2007.
Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, Jakarta : Gema Insani, 1999.
Heri Yulianto, “ Kebijakan Formulasi Mengenai Gratifikasi Dalam Undang-undang Korupsi dan Hukumnya, “ Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang ,2004.
Syekh Muhammad al-Ghazali, Khuluq Al-Muslim, Kuwait: Dar al-Bayan, t.t.
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Uwes Al-Qarni, 60 Penyakit Hati, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
Syekh Sa’id bin Abdullah, Al-Fatwa al-Syari’ah fi amsail al-ashiriyyah, Riyadh : Mussarah al-Juraisy, 1999.



[1] Mansyur Semma, ”Negara dan Korupsi “ ( Jakarta : Tp, 2008 ), h.32.
[2][2] Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Jilid II, ( Beirut : Dar Shadir, 2000 ), h. 74.
[3] Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 2,(t.t : Dar-Kitab Islamiyah, tt), h.108.
[4]Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 5.
[5]Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, h. 15-16.
[6]Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 60-61.
[7]Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 55.
[8]Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 (Jakarta : Gema Insani, 1999), h.609-610.
[9] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi, Tafsir Al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan (Tafsir As-Sa’adi), Jilid 1, (Riyadh : Dar-Ashimah, 1999), h. 300
[10] Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, h.693.
[11] Syekh Muhammad al-Ghazali, Khuluq Al-Muslim (Kuwait: Dar al-Bayan, t.t), h. 51.
[12] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi, Tafsir Al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan (Tafsir As-Sa’adi), Jilid 2, (Riyadh : Dar-Ashimah, 1999), h. 70
[13] Uwes Al-Qarni, 60 Penyakit Hati (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 106-107.
[14] Zulfaroni : “ Hadis-hadis tentang hadiah dan Sogok “
[15] Heri Yulianto, “ Kebijakan Formulasi Mengenai Gratifikasi Dalam Undang-undang Korupsi dan Hukumnya, “ Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang (2004):h.. 47
[16]Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 (Jakarta : Gema Insani, 1999),h.304-305
[17] Al-Qurthubi, Jami li Al-Ahkam Al-Qur’an, Jilid II (Beirut : Dar al-Fikr, 1999 ), h. 711
[18]  (Lihat Al-Mughni XI/437, An-Nihayah II/226, dan Subulussalam I/216).
[19] Al-Qurthubi, Jami li Al-Ahkam Al-Qur’an, Jilid IV ( Beirut : Dar al-Fikr, 1999  ), h.119.
[20] Subulussalam, Jilid II, h.24
[21]Syekh Sa’id bin Abdullah, Al-Fatwa al-Syari’ah fi amsail al-ashiriyyah, (Riyadh : Mussarah al-Juraisy, 1999), h.119.

Tabel Ayat-ayat Korupsi

No.
Nama Surat
No.  Turun Surat
Potongan Ayat
Intisari
4.
QS. Al-Baqarah [2] : 188
1  (Madaniyyah)
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ  


Jangan memakan harta sebagian dari orang  lain dengan jalan batil , dan jangan pula  membawa urusan kepada hakim agar mendapat putusan memakan harta orang lain dengan jalan batil dan dosa.

QS. Ali Imran [3] : 161
3 (Madaniyyah)
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ/ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$#
Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta maka hari kiamat ia akan datang dengan membawa harta penghianatan tersebut dan mereka akan dibalas dengan balasan yang setimpal dengan perbuatannya.

QS. An-Nissa’ [4] : 29
6 (Madaniyyah)
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
Sebagai orang yang beriman dilarang untuk memakan harta sesama dengan jalan yang batil.

QS. Al-Maidah : 42
26 (Madaniyyah)
šcqã軣Jy É>És3ù=Ï9 tbqè=»ž2r& ÏMós¡=Ï9 4 bÎ*sù x8râä!$y_ Nä3÷n$$sù öNæhuZ÷t/ ÷rr& óÚ͏ôãr& öNåk÷]tã (

Orang-orang Yahudi yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta yang haram. Jika mereka datang kepadamu  minta keputusan maka berpalinglah niscaya kamu tidak akan mendapat kemadharatan, jika kmu tidak berpaling berikanlah keadilan bagi mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar