KORUPSI DAN GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF AL-QU'AN
Oleh :
Ulfah Zakiyah
PENDAHULUAN
Permasalahan bangsa Indonesia kini
bukanlah persoalan antara bangsa satu dengan bangsa lain. Dulu negara Indonesia
adalah negara yang ratusan tahun di jajah oleh negara lain kini Indonesia telah
memproklamirkan merdeka dari jajahan negara lain. Namun persoalan bangsa
Indonesia kini ialah persoalan intern (dalam) yakni persoalan dalam karena
bangsa indonesia dijajah oleh bangsanya sendiri yakni berupa kasus korupsi di pemerintahan begitu marak
terjadi, bahkan disebut-sebut korupsi ialah bukan hal yang asing lagi dan
bahkan sudah mendarah daging.
Seperti halanya kasus korupsi yang
menyeret Akil Mukhtar sebagai ketua Mahkamah Konsstitusi, Ratu Atut sebagai
Gubernur Banten, Annas Urabaningrum, Ahmad Fathanah dan para elit politik
lainnya.
Ironisnya
persoalan korupsi atau gratifikasi kini
tidak hanya terjadi di elit politik saja, namun kini persoalan korupsi sudah
semakin menjalar kesemua lapisan penjuru bangsa Indonesia. Tidak hanya
dipemerintahan saja melainkan dibagian yang lainpun sudah mulai tumbuh. Namun
yang paling ironis ialah bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam
merupakan negara terkorup ke empat di dunia, padahal dalam Islam perilaku
hal-hal buruk seperti korupsi ialah seuatu yang diharamkan bahkan dicela
habis-habisan, namun mengapa bangsa Indonesia yang mayoritas masyartaktnya
muslim begitu banyak yang melakukan korupsi atau gratifikasi. Untuk itu
kami akan memaparkan pengertian dari
korupsi dan gratifikasi, ayat-ayat hukum tentang larangan korupsi dan
garatifikasi serta ancaman bagi yang melakukannya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertia
Korupsi (Ghulul)
Korupsi
sebagai penomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan
dan kenegaraan yang dapat menimbulkan kerugian di berbagai bidang. Korupsi
berasal dari kata Latin corruption atau koroptus, kemudian muncul
dari bahasa Inggris dan Prancis : corruption, dalam bahasa Belanda korruptie,
selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi.[1]
Dalam
istilah Bahasa Arab kata korupsi banyak mempunyai kesepadanan kata :
diantaranya adalah ghulul dan risywah. Yang secara etimologi kata
ghulul berasal dari kata ghalala-yaghlulu. Ia merupakan masdar
invinitive atau verbal noun. Ada beberapa pola dari masdar ghulul yang semuanya
diartikan oleh Ibn Manzur dengan arti sangat kehausan dan kepanasan.[2]
Secara lebih spesifik dikemukakan dalam Mu’jam al-Wasith bahwa kata ghulul
berasal dari kata ghalala-yaghulu yang berarti harta rampasan peranga atau dalam
harta yang lain.
Sedangkan,
menurut Imam al-Ghazali ghulul adalah perbuatan mengambil sesuatu bukan
pada haknya. Hal tersebut haram seperti halnya perbuatan seorang penguasa yang
dholim yang korupsi karena Nabi telah menetapkan keharaman berbuat ghulul dalam
hadisnya. Selain itu ghulul pula dapat di kategorikan sebagai perbuatan fasad
(kerusakan di muka bumi) , yang juga dikutuk Allah SWT. perbuatan ghulul merupakan perbuatan jahat
yang bertentangan dengan nilai Islam.[3]
Korupsi
merupakan jenis tindak pidana yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan
pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.[4]
Pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.3
Tahun1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat dilihat dalam Bab
1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1) sebagai barikut :
1. Dihukum
karena tindak pidana korupsi adalah:
a. Barangsiapa
yang melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara, dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau
patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
b. Barangsiapa
dengan bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c. Barangsiapa
yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal 209, 210, 387, 388, 415,
416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.
d. Barangsipa
memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2
dengan megingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada
jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e. Barangsiapa
tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima
pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam
Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji
tersebut kepada yang berwajib.[5]
Itulah
gambaran dari sebuah pelanggaran hukum yang mana dalam hal ini adalah korupsi
yang merupakan sebuah tindak pidana. Yang hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang
KUHP mengenai ancaman dan hukuman bagi para koruptor.
Ketidak
jujuran, kezaliman, penghianatan dan penyimpangan dari kesucian itu juga
merupakan bentuk dari korupsi. Korupsi dianggap sebagai pelanggaran dari amanah
karena perbuatan korupsi merupakan perbuatan atau tindakan yang menyalahgunakan
kepercayaan yang ditumpahkan kepadanya.
Dosa
dan kemungkaran menghianati kewajiaban-kewajiaban yang paling keji adalah berkhianat terhadap agama dan jam’iyatul
muslimin. Stabilitas negara akan terganggu olehnya. Sabda Rasul Saw.: Apabila nanti dihari kiamat Allah akan
menghimpun antara orang-orang terdahulu dan terakhir, maka Allah akan menaikkan
bendera bagi tiap-tiap orang yang berkhianat itu untuk dapat dikenalnya. Lalu
dikatakan, inlah penghianatan sifulan”. (HR. Bukhari) Dan juga sabda Rasul saw.: Tiap-tiap orang yang berkhianat itu akan
diberi bendera dekat pantatnya, yang akan dinaikkan setinggi khianatnya itu.
Ketahuilah bahwa tidak ada penghianat yang lebih besar selain khianatnya
terhadap masyarakat”.(HR. Muslim).
Yaitu
khianat yang paling besar dan akibatnya yang paling buruk, ialah khianat
seseorang yang diserahi urusan umat lalu dia mengabaikan urusan (amanat) itu
hingga berantakan.
Salah
satu bentuk dari amanat yang lain adalah seorang yang diberi jabatan, lalu
jabatan itu
digunakan untuk kepentingan pribadi atau keluarga atau kelompok tertentu.
Sesungguhnya mengeruk kekayaan dari harta umat itu seudah merupakan tindak
kriminal dengan kata lain tindak pidana korupsi.[6]
Yang sudah lazim dikalangan kita adalah setiap pemerintah atau perusahaan memberi upah tertentu kepada pegawainya. Oleh
karena itu usaha mendapatkan tambahan dengan jalan yang menyimpang dari
ketentuan, adalah sama dengan bekerja dengan jalan dosa.[7]
Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang telah kami angkat sebagai pegawai dalam suatu
pekerjaan, lalu kami memberinya upah tertentu kemudian selain itu dia juga
mengambil yang lain, maka ia itu penipu.”(HR. Abu Dawud)
Kenapa
dikatakan penipu? Karena mereka mengambil harta yang bukan haknya, yamg
semestinya hak umat yang lemah dan fakir, dan harta tersebut yang semestinya
dipergunakan untuk kemaslahatan bersama. Sesuai dengan Firman Allah Swt :
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äót
4 `tBur ö@è=øót
ÏNù't $yJÎ/ ¨@xî
tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 4 §NèO
4¯ûuqè? @à2
<§øÿtR $¨B ôMt6|¡x.
öNèdur w
tbqßJn=ôàã
ÇÊÏÊÈ
Artinya: Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian
tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan
(pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS.Ali Imran [3]: 161)
Adapun
sebab nuzul ayat ini yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, dia berkata , “ Kaum muslim kehilangan selimut beludru dalam
peristiwa Badar. Mereka mengatakan kemungkinan rasulullah Saw. telah
mengambilnya. “ Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat : “tidaklah layak bagi
seorang nabi berkhianat “ yakni korupsi. Ini merupakan penyucian terhadap diri
Nabi Saw. dari segala aspek penghianatan dalam menjalankan amanat, membagikan ghanimmah
dan lain sebagainya.
Kemudian
Allah berfirman “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang
itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu,
kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. “ Ini merupakan
intimidasi yang keras dan ancaman yang tegas. Dalam sunnah pun terdapat
beberapa hadis yang melarang pengkhianatan, diantaranya sebagai berikut : “
Korupsi yang paling besar menurut pandangan Allah ialah sejengkal tanah. Kamu
melihat dua orang yang tanahnya atau rumahnya berbatasan. Kemudian salah
seorang dari keduanya mengambil sejengkal dari miliki saudaranya itu . maka
jika dia mengambilnya, akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada
hari kiamat. “ (HR. Ahamad).[8]
Syekh
As-Sa’adi dalam Kitab Tafsir Al-Karim
al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan mengatakan bahwa : janganlah kalian
mengambil harta sebagain kalian artinya harta selain kalian., Allah
menyandarkan harta itu kepada mereka, karena sepatutnya seorang muslim
mencintai dirinya sendiri, ia menghormati hartanya sebagaimana dihormati, dan
karena tindakannya memakan harta orang lain membuat orang lain akan berani
memakan hartanya saat ia mampu. Dan ketika tindaknnya memakan harta itu ada dua
macam, yaitu pertama dengan hak dan yang
kedua dengan batil, dan diharamkan dari kedua tersebut yaitu ketika memakan
harta orang lain dengan cara yang batil, maka Allah membatasinya dengan hal
tersebut.
Termasuk
dalam hal itu adalah memakan harta orang lain dengan cara memaksa, pencurian,
pengkhianatan pada suatu titipan, atau pinjaman atau sebagainya. Dan termasuk
pengambilan dengan cara barter yaitu barter yang diharamkan, seperti akad riba,
perjudian secara keseluruhan, semua hal itu adalah cara memakan harta orang
lain dengan cara batil, karena bukan termasuk pertukaran yang diperbolehkan,
termasuk juga kecurangan dalam jual beli dan kecurangan penyewaan dan lain
sebagainya.[9]
Dalam ayat yang lianpun dijelaskan larangan
memakan harta dengan jalan yang batil, sebagimana firman Allah :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä
w (#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB 4 wur
(#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ)
©!$# tb%x. öNä3Î/
$VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya
: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. “ (QS. An-Nissa’ : 29).[10]
Adapun asbab
al-nuzul ayat ini adalah ketika sahabat Anas bin Malik juga mengatakan:
Rasulullah tidak berkhotbah kepada kami melainkan beliau berkata, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak
beramanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memenuhi janji”.[11]
Allah melarang para hamba-Nya yang beriman dari memakan
harta di antara mereka dengan cara yang batil, hal ini mencakup memakan harta
dengan cara memaksa, pencurian, mengambil harta dengan jalan perjudian, dan
pencarian yang hina bahkan bisa jadi hal ini juga memakan harta sendiri dengan
cara yang sombong dan berlebih-lebihan, karena hal tersebut adalah termasuk
kebatilan bukan dari kebenaran. Kemudian setelah Allah mengharamkan memakan
harta dengan cara yang batil, Allah membolehkan bagi mereka memakan hartanya
dengan cara perniagaan dan pencarian yang tidak terdapat padanya
penghalang-penghalang dan mengandung syarat saling ridho dan sebagainya.[12]
Para
koruptor tersebut termasuk orang yang menyalahi janji. Sedangkan menyalahi
janji termasuk satu dari tanda orang munafik. Meskipun secara syar’i
tidak berarti mereka keluar dari Islam, yang jelas mereka tidak akan pernah
memiliki kesempurnaan Islamnya, karena ketiga sifat tersebut merupakan cerminan
atas kebohongan. Ucapan dan tindakannya tidak akan pernah selaras dengan apa
yang diyakini dalam hatinya. Kebiasaan buruk dalam mengumbar janji yang tidak
disertai dengan kesungguhan hati untuk memenuhinya, merupakan perbuatan yang
sangat dibenci Allah Swt.[13]Allah
Swt berfirman :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
zNÏ9 cqä9qà)s?
$tB
w tbqè=yèøÿs? ÇËÈ uã92 $ºFø)tB yYÏã «!$#
br&
(#qä9qà)s? $tB w
cqè=yèøÿs?
ÇÌÈ
Artinya:
“ Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ (QS. As-Shaaf: 2-3)
Jika kita melihat penjelasan diatas,
Betapa Allah dan Rasul-Nya sangat benci dan marah terhadap orang-orang yang
menyalahi janji mereka yakni para koruptor yang menghianati amanah yang dipercayakan
kepada mereka.
Mereka
adalah pemimpin yang seharusnya bekerja untuk kemaslahatan masyarakat,
mensejahterakn rakyat dan menjadi pengayom bagi rakyatnya. Tetapi kenapa mereka
menghiati rakyatnya sendiri dengan melakukan korupsi, memperkaya diri.
Akibatnya rakyat menjadi sengsara dan menderita.
Mereka-mereka
itulah yang nantinya akan sengsara di akhirat kelak, karena akibat
perbuatan mereka sendiri. Sebagaimana Firman Allah Swt :
¨bÎ)
tûüÉ)Ïÿ»oYçRùQ$# Îû Ï8ö¤$!$# È@xÿóF{$#
z`ÏB Í$¨Z9$#
`s9ur
yÅgrB öNßgs9
#·ÅÁtR ÇÊÍÎÈ
Artinya:
“ Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang
paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang
penolongpun bagi mereka. “ (QS.
Al-Nisa’ [4]: 145)
¨bÎ)
©!$# ßìÏB%y` tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$#
tûïÌÏÿ»s3ø9$#ur Îû tL©èygy_
$·èÏHsd ÇÊÍÉÈ
Artinya:
“ Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan
orang-orang kafir di dalam Jahannam. “ (QS. Al-Nisa’ [4]: 140)
Padahal jaminan bagi Pemimpin yang adil
dan amanah itu adalah naungan dan surga. Seperti dijelaskan dalam hadis Nabi
SAW.. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ra, “ Bahwa ada 7 golongan yang
akan mendapatkan naungan di akhirat kelak yang dimana pada hari itu tiada
naungan, yang salah satunya adalah “Pemimpin yang adil (jujur dan amanah
tidak menyalani janji) “
Sungguh besar balasan bagi Pemimpin yang
amanah, yaitu berupa naungan, surga dan pertolongan diakhirat kelak. Tetapi
sebaliknya sungguh celaka dan merugi bagi para pemimpin yang tidak amanah, yang
menyalahi janjinya yang berani melakukan korupsi memperkaya diri. Maka tempat
meraka nanti itu adalah neraka. Mereka mengingkari perintah Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang memerintahkan untuk berbuat adil, jujur, amanah dan tidak
menyalahi janji. Orang-orang yang mengabaikan dan mengingkari perintah dan
peringatan dari Allah dan Rasul-Nya maka kehidupannya akan disempitkan oleh
Allah didunia dan kelak dihari kiamat mereka dalam keadaan buta. Sesuai dengan
Firman Allah SWT :
ô`tBur
uÚtôãr& `tã Ìò2Ï ¨bÎ*sù
¼ã&s!
Zpt±ÏètB
%Z3Y|Ê ¼çnãà±øtwUur uQöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$#
4yJôãr& ÇÊËÍÈ
Artinya:
Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
Keadaan buta. (QS. Thaaha: 124)
B. Gratifikasi (Risywah)
1. Pengertian Gratifikasi
Risywah
berasal dari kata rasya yang berarti al-ja’lu (menyuap). Ibn
al-Atsir mengatakan rasywah adalah sesuatu yang menyampikan pada
keperluan dengan jalan menyogok.[14]
Al-Ra’isy adalah orang yang memberikan risywah secara batil. Sedangkan
al-murtasyi adalah orang yang mengambil risywah dan al-Ra’isy adalah orang yang
bekerja sebagai perantara risywah yang meminta tambah atau minta kurang.
Berdasarkan
kamu hukum, gratifikasi berasal dari bahasa Belanda “gratificatie “ yang
berarti hadiah uang tau pemberian uang., sedangkan menurut kamus besar bahasa
Indonesia garatifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji, dan
pengertian gratifikasi daalm kamus hukum yang membatasi pada uang yang berupa
uang seperti extra pay, bonus, allowance (uang bantuan).[15]
Yang dimaksud
risywah (suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan
suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. (Lihat Al-Mausû’ah
Al-Fiqhiyyah II/7819).
Al-Fayyumi rahimahullah
mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) secara terminologis berarti
pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk
memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. (Lihat Al-Misbah
Al-Munir I/228).
Sedangkan
Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok)
ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara
yang dibuat-buat (tidak semestinya). (Lihat An-Nihayah Fi Gharibil Hadits
II/546).
Dari
beberapa pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang
diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk
memperoleh keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang semestinya
harus diselesaikan tanpa imbalan.
Atau bisa
juga kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah pemberian apa saja
berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan
agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
Praktik
suap-menyuap atau yang sering diistilahkan dengan “uang pelicin” atau ”uang
sogok” meskipun telah diketahui dengan jelas keharamannya, namun tetap saja
gencar dilakukan oleh sebagian orang, demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
bersifat duniawi. Ada diantara mereka yang melakukan suap-menyuap untuk meraih
pekerjaan, jabatan, pemenangan hukum, tender atau proyek hingga untuk memasukan
anak ke lembaga pendidikan pun tak luput dari praktik suap-menyuap. Sungguh
pemandangan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, mereka
yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam, padahal
jelas-jelas imam dan panutan kaum muslimin, Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah mengutuk dengan keras para pelaku suap-menyuap itu.
2.
Hukum
Gratifikasi dalam Tinjuan Syari’ah
Praktik suap menyuap di dalam agama
Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil syar’i berupa Al-Qur’an,
Al-Hadits, dan ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.
Terdapat banyak dalil syar’i yang
menjelaskan keharaman suap menyuap, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Dalil Al-Qur’an :
سَمَّاعُونَ
لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ
أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka itu adalah orang-orang
yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka
(orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah
(perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”. (QS.
Al-Maidah: 42).
Di dalam
menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud radliyallahu’anhuma
dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-suhtu (sesuatu
yang haram) adalah risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam
Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
Berkenaan
dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan
di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau
berkata: “Jika seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya
kepada kekufuran”. (Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah XI/437).
Penafsiran
ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah ayat
188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:
188).
Ali
bin Abi Thalib bercerita dari Ibnu Abbas mengenai seseorang yang menguasai
harta kekayaan namun tidak memiliki bukti kepemilikannya. Maka dia memanipulasi
harta itu dan mengadukannya kepada hakim, sedang dia mengetahui bahwa harta itu
bukan haknya dan dia pun mengetahui bahwa dirinya berdosa lantaran memakan
barang haram. Sebagian ulama shalaf mengatakan, janganlah anda mengadukan
persoalan sedang anda mengetahui bahwa
anda itu dzalim.
Ayat
diatas menunjukan bahwa ketetapan hakim tidak mengubah karakteristik
perkara. Hakim tidak dapat menghalalkan perkara haram yang berkarakter haram
dan ia tidak menghalalkan perkara halal yang berkarakter halal, karena ia hanya
berpegang teguh pada zahirah saja. Jika sesuai maka hal itulah yang
dikehendaki, dan jika tidak sesuai, maka hakim tetap beroleh pahala dan bagi
yang bermuslihat adalah dosanya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat
tersebut.[16]
Sedangkan Imam
Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian
memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia
menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara
yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang
batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang
hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah.
Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.”[17]
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami rahimahullah mengatakan,
“Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara
mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak
orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi
kalian”. (Lihat Az-Zawajir ‘An Iqtirof Al-Kaba-ir, karya Haitsami
I/131).
- Dalil
dari Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, diantaranya:
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى
وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
Dari Abu
Hurairah radliyallahu ’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah
hukum.” (HR. Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban
XI/467 no.5076. Dan dinyatakan Shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih
At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2212).
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin
‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu
Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan Hakim,
4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan dinyatakan
Shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib
II/261 no.2211).
عن ثوبان قال
: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ
وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dan diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu
anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat
pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya.” (HR. Ahmad V/279 no.22452.
namun sanad hadits ini dinyatakan Dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani di dalam
Dho’if At-Targhib wa At-Tarhib II/41 no.1344).
Hadits-hadits
ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya
diancam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Laknat dari Allah.
Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah
memasukkan suap ke dalam dosa besar yang ke-32.
- Dalil
Ijma’
Para ulama
telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap menyuap secara umum,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani, semoga
Allah merahmati mereka semua. [18]
Imam
Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya mengatakan bahwa para
ulama telah sepakat akan keharamannya.[19]
Imam
Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkan Ijma’,
baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja yang menangani
shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:
188).[20]
(Lihat Subulus Salam II/24).
Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap termasuk dosa
besar karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang
menyuap dan yang menerima suap, sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada
dosa-dosa besar. ”[21]
PENUTUP
-
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa korupsi dan gratifikasi merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan
beretentangan dengan ajaran agama Islam baik al-Qur’an maupun hadis. Korupsi
dan gratifikasi merupakan perbuatan yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri
namun merugikan orang lain bahkan sekelompok orang bahkan masyarakat luas.
-
Kritik
dan Saran
Seperti dalam sebuah peribhasa “ Tidak
ada gading yang tidak retak “ begitu pula dengan makalah kami yang masih
jauh dari kesempurnaan untuk itu kami meminta kritik dan sarannya yang bersifat
membangun untuk perbaikan makalah kami
di masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’adi, Tafsir Al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan
(Tafsir As-Sa’adi), Jilid 1, (Riyadh : Dar-Ashimah, 1999),
Al-Qurthubi,
Jami li Al-Ahkam Al-Qur’an, Jilid IV ,
Beirut : Dar al-Fikr, 1999.
Semma,
Mansyur ”Negara dan Korupsi “, Jakarta
: Tp, 2008.
Ibn
Mandzur, Lisan al-Arab, Jilid II, Beirut : Dar Shadir, 2000.
Abu
Hamid Al-Ghazali, Muhammad Ihya
Ulumuddin, Juz 2.
Zulfaroni
: “ Hadis-hadis tentang hadiah dan Sogok “
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As’Sa’adi, Tafsir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam
al-Manan, Jilid 2, Jakarta : Pustaka Sahifa, 2007.
Muhammad
Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, Jakarta : Gema Insani,
1999.
Heri
Yulianto, “ Kebijakan Formulasi Mengenai Gratifikasi Dalam Undang-undang
Korupsi dan Hukumnya, “ Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas
Diponegoro, Semarang ,2004.
Syekh
Muhammad al-Ghazali, Khuluq Al-Muslim, Kuwait: Dar al-Bayan, t.t.
Ermansjah
Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
Uwes
Al-Qarni, 60 Penyakit Hati, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
Syekh
Sa’id bin Abdullah, Al-Fatwa al-Syari’ah fi amsail al-ashiriyyah, Riyadh
: Mussarah al-Juraisy, 1999.
[1] Mansyur Semma, ”Negara dan Korupsi “ ( Jakarta : Tp, 2008 ), h.32.
[3] Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 2,(t.t :
Dar-Kitab Islamiyah, tt), h.108.
[4]Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), h. 5.
[5]Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, h.
15-16.
[6]Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), h. 60-61.
[7]Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), h. 55.
[8]Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 (Jakarta :
Gema Insani, 1999), h.609-610.
[9] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi, Tafsir Al-Karim al-Rahman
fi Tafsir Kalam al-Manan (Tafsir As-Sa’adi), Jilid 1, (Riyadh :
Dar-Ashimah, 1999), h. 300
[10] Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, h.693.
[11] Syekh Muhammad al-Ghazali, Khuluq
Al-Muslim (Kuwait: Dar al-Bayan, t.t), h. 51.
[12] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi, Tafsir Al-Karim al-Rahman
fi Tafsir Kalam al-Manan (Tafsir As-Sa’adi), Jilid 2, (Riyadh : Dar-Ashimah,
1999), h. 70
[13] Uwes Al-Qarni, 60 Penyakit
Hati (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 106-107.
[14] Zulfaroni : “ Hadis-hadis tentang hadiah dan Sogok “
[15] Heri Yulianto, “ Kebijakan Formulasi Mengenai Gratifikasi Dalam
Undang-undang Korupsi dan Hukumnya, “ Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas
Diponegoro, Semarang (2004):h.. 47
[16]Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 (Jakarta :
Gema Insani, 1999),h.304-305
[17] Al-Qurthubi, Jami li Al-Ahkam Al-Qur’an, Jilid II (Beirut : Dar
al-Fikr, 1999 ), h. 711
[19] Al-Qurthubi, Jami li Al-Ahkam Al-Qur’an, Jilid IV ( Beirut :
Dar al-Fikr, 1999 ), h.119.
[20] Subulussalam, Jilid II, h.24
[21]Syekh Sa’id bin Abdullah, Al-Fatwa al-Syari’ah fi amsail
al-ashiriyyah, (Riyadh : Mussarah al-Juraisy, 1999), h.119.
Tabel
Ayat-ayat Korupsi
No.
|
Nama Surat
|
No. Turun Surat
|
Potongan Ayat
|
Intisari
|
4.
|
QS. Al-Baqarah [2] : 188
|
1
(Madaniyyah)
|
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)Ìsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
|
Jangan memakan harta sebagian dari orang lain dengan jalan batil , dan jangan
pula membawa urusan kepada hakim agar
mendapat putusan memakan harta orang lain dengan jalan batil dan dosa.
|
QS. Ali Imran [3] : 161
|
3 (Madaniyyah)
|
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äót 4 `tBur ö@è=øót ÏNù't $yJÎ/ ¨@xî tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$#
|
Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta
maka hari kiamat ia akan datang dengan membawa harta penghianatan tersebut
dan mereka akan dibalas dengan balasan yang setimpal dengan perbuatannya.
|
|
QS. An-Nissa’ [4] : 29
|
6 (Madaniyyah)
|
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
|
Sebagai orang yang beriman dilarang untuk memakan
harta sesama dengan jalan yang batil.
|
|
QS. Al-Maidah : 42
|
26 (Madaniyyah)
|
cqã軣Jy É>És3ù=Ï9 tbqè=»2r& ÏMós¡=Ï9 4 bÎ*sù x8râä!$y_ Nä3÷n$$sù öNæhuZ÷t/ ÷rr& óÚÍôãr& öNåk÷]tã (
|
Orang-orang Yahudi yang suka mendengar berita
bohong dan banyak memakan harta yang haram. Jika mereka datang kepadamu minta keputusan maka berpalinglah niscaya
kamu tidak akan mendapat kemadharatan, jika kmu tidak berpaling berikanlah
keadilan bagi mereka.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar