Sabtu, 12 Desember 2015

Semiotika Charles Sanders Peirce

Semiotika Charles Sanders Peirce

Oleh :
Musiandi (1111034000026)
Ulfah Zakiyah (1111034000013)
A.    Pendahuluan
Dalam proses komunikasi secara primer, lambang atau simbol digunakan sebagai media dalam penyampaian gagasan atau perasaan seseorang kepada orang lain. Lambang di dalam proses komunikasi meliputi bahasa, gestur, isyarat, gambar, warna, dan tanda-tanda lainnya yang dapat menerjemahkan suatu gagasan atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan) secara langsung. Dari berbagai lambang yang dapat digunakan di dalam proses komunikasi, bahasa merupakan media yang paling banyak dipakai karena paling memungkinkan untuk menjelaskan pemikiran seseorang, dan dengan bahasa pula segala kejadian masa lalu, masa kini, maupun ramalan masa depan dapat dijelaskan. Fungsi bahasa yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu pengetahuan dapat berkembang dan hanya dengan kemampuan berbahasa, manusia dapat mempelajari ilmu pengetahuan.Kegagalan dalam proses komunikasi banyak disebabkan oleh kesalahan berbahasa atau ketidakmampuan memahami bahasa. 
Semiotika merupakan ilmu atau metode ilmiah untuk melakukan analisis terhadap tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Tanda merupakan bagian yang penting dari bahasa, karena bahasa itu sendiri terdiri dari kumpulan lambang-lambang, dimana di dalam lambang-lambang itu terdapat tanda-tanda. Oleh karenanya tentu ada kaitan yang erat antara semiotika dengan proses komunikasi, mengingat semiotika merupakan unsur pembangun bahasa dan bahasa merupakan media dalam proses komunikasi. Pentingnya semiotika dalam komunikasi mendorong para ahli dan ilmuwan semiotik untuk merumuskan berbagai macam teori semiotika. Teori-teori tersebut terus berkembang dan saling melengkapi.
Sejarahnya Semiotik adalah sains yang mengkaji sistem perlambangan yang telah bermula sejak zaman Greek lagi, iaitu; zaman Plato dan Aristotle. Kedua-dua tokoh tersebut telah memulakan sebuah teori bahasa dan makna. Namun tidak lama selepas itu, teori ini dirasakan tidak wajar, lalu kegunaan dan keunggulannya mula menjadi lemah. Namun, pada abad ke 17, pendekatan semiotik mula mendapat perhatian John Locke, seorang ahli falsafah Inggeris untuk menjelaskan doktrin perlambangan ketika itu. Kali ini, kemunculan pendekatan semiotik beransur-ansur mendapat perhatian sehingga ia mula mendapat tempat di kalangan tokoh-tokoh yang terkemuka seperti Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik Eropah dan Charles Sander Peirce, seorang ahli falsafah Amerika pada abad ke 19. Kedua-duanya mereka telah merintis jalan bagi mengkaji dan menilai kesusasteraan melalui pendekatan semiotik. Oleh kerana semiotik merupakan gabungan daripada disiplin-disiplin lain, telah ada usaha dari Saussure untuk memantapkan kedudukannya agar dapat mandiri dan berdiri sebagai satu disiplin yang autonomous. Sedikit demi sedikit, semiologi mula mendapat tempat melalui tulisan-tulisan Roland Barthes. Ia tidak lagi dilihat sebagai sebuah teori yang bersifat daerah yang hanya dibataskan kegunaannya untuk kajian bahasa dalam kesasteraan saja. Malah, ia dapat diaplikasikan dalam semua persoalan hidup yang penuh dengan lambang dan perlambangan. Maka mengaitkannya dengan bahasa dan kesusasteraan.
Menurut Barthes, bahasa berpengaruh dalam semua aspek kehidupan dan ia boleh ditinjau melalui karya-karya yang terhasil. Karya merupakan cerminan realiti sebenar yang diungkap dalam bentuk tulisan. Selain Barthes, semiotik merupakan satu bidang yang telah memikat ramai tokoh-tokoh serta ahli falsafah seperti Umberto Eco, Algirdas Julien Greimas, Louis Hjelmslev, Julia Kristeva, Charles Sander Peirce dan Tzvetan Todorov. Tokoh-tokoh tersebut menggunakan pendekatan semiotik untuk mengkaji karya dari berbagai aspek, iaitu daripada aspek perlambangan, imejan, ekspresi hinggalah ke aspek hermeneutik. Dari itu, dapat dilihat bahawa pendekatan semiotik telah mendapat tempat dalam kajian-kajian yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut sehingga kekuatannya terbukti apabila ia dapat digunakan secara meluas di kalangan para pengkaji. Konsep Teori Semieon adalah istilah yang digunakan oleh orang Greek untuk merujuk kepada sains yang mengkaji sistem perlambangan atau sistem tanda dalam kehidupan manusia. Daripada akar kata inilah terbentuknya istilah semiotik, iaitu kajian sastera yang bersifat saintifik yang meneliti sistem perlambangan yang berhubung dengan tanggapan dalam karya. Menurut Mana Sikana (1985: 175), pendekatan semiotik melihat karya sastera sebagai satu sistem yang mempunyai hubungan dengan teknik dan mekanisme penciptaan sesebuah karya Ia juga memberi tumpuan kepada penelitian dari sudut ekspresi dan komunikasi.
Semiotik adalah sebuah disiplin ilmu sains umum yang mengkaji sistem perlambangan di setiap bidang kehidupan. Ia bukan sahaja merangkumi sistem bahasa, tetapi juga merangkumi lukisan, ukiran, fotografi mahupun pementasan drama atau wayang gambar. Ia wujud sebagai teori membaca dan menilai karya dan merupakan satu displin yang bukan sempit keupayaannya. Justeru itu ia boleh dimandatkan ke dalam pelbagai bidang ilmu dan boleh dijadikan asas kajian sebuatu kebudayaan. Oleh kerana sosiologi dan linguistik merupakan bidang kajian yang mempunyai hubungan di antara satu sama lain, semiotik yang mengkaji sistem tanda dalam bahasa juga berupaya mengkaji wacana yang mencerminkan budaya dan pemikiran. Justeru, yang menjadi perhatian semiotik adalah mengkaji dan mencari tanda-tanda dalam wacana serta menerangkan maksud daripada tanda-tanda tersebut dan mencari hubungannya dengan ciri-ciri tanda itu untuk mendapatkan makna signifikasinya.
B.     Pengertian Semiotik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial
Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik  merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek - obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.[1] Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.
Ahli sastra Teew (1984:6)[2]. Mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda dan produksi makna tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan suatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semua berkembang dalam bidang bahasa kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual
C.    Macam-macam Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang. Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural,  normatif, sosial, struktural.[3]
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek  tertentu.
Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.
Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore).
Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
 Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat.
“Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa”.[4]
D.    Biografi Chales sanders
Charles Sanders Peirce (1839-1914) dilahirkan di Cambridge, dia merupakan anak dari seorang ahli matematika Universitas Harvard, dia merupakan seorang ahli ilmu pengetahuan dan seorang filosof”. “Keahliannya dibidang ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada diskursus geologi, kimia, dan fisika, tetapi juga termasuk apresiasi prosedur yang digunakan oleh para pendahulu yang sukses dalam meningkatkan pengetahuan”.
Peirce menghabiskan pendidikannya di Universitas Harvard. “Sebelum masuk ke Harvard, pada usia 16 tahun, Peirce sudah melakukan training di laboratorium kimia selama sepuluh tahun, dan telah membaca logika Whitely. Pendidikannya dikonsentrasikan pada filsafat dan ilmu-ilmu fisika”. Sehingga tidak heran, “dia menerima gelar Master of Art (M.A.) dalam bidang matematika dan kimia, serta dia bekerja selama tiga tahun pada observatorium astronomi Universitas Harvard”.
Peirce memiliki kesamaan dengan ayahnya. …”ayahnya adalah seorang guru besar matematika dan bekerja pada Coastal and Geodetic Survey selama beberapa tahun”. Tidak mengherankan, “pada tahun 1861 sampai 1891 dia bergabung dengan U. S. Coastal & Geodetic Survey”. Selain itu Peirce juga memiliki kesibukan menjadi seorang dosen pada salah satu universitas. “Dia memberikan kuliah di Johns Hopkins University, akan tetapi ia tidak pernah tetap memberikan kuliah kecuali di Johns Hopkins University saja”.
“Peirce menikah pada 1862 dengan Marriet Melunisia Inadequasies yang akrab dengan panggilan Zina, feminis pertama di Amerika. Ia merupakan semangat pembaruannya dengan mengajak Peirce ke dalam persekutuan gereja Episcopal”. Peirce pun sempat bertemu bahkan berteman akrab dengan William James. Peirce memproduksi banyak teori ilmu pengetahuan, kemudian William James mempropagandakannya. “Walaupun dia menyesali propaganda gagasannya oleh William James, James adalah seorang teman setia Peirce yang memperkenalkan teori-teori Peirce kepada masyarakat cendekia”.
Peirce juga merupakan seorang aktivis. Disela-sela kesibukannya, Peirce masuk ke dalam berbagai kelompok kajian ilmiah. “Peirce menjadi anggota pelbagai kelompok ilmiah dan menghasilkan banyak makalah tetapi tidak pernah menulis buku. Kumpulan karangannya dikumpulkan sebagai buku setelah ia meninggal”. Peirce berhasil menggabungkan dua cara berpikir, yaitu deduksi dan induksi serta memperkenalkannya dengan sebutan abduksi. “Peirce memperkenalkan tiga tipe cara berpikir didalamnya merupakan penjumlahan dari bentuk standar dua, yaitu deduksi dan induksi yang dia sebut sebagai abduksi yang mana setelah itu abduksi dikenal sebagai cara berpikir menuju penjelasan yang terbaik”. Selain itu dia juga merupakan seorang tokoh pendiri salah satu aliran filsafat, yaitu pragmatisme. “pragmatisme (berasal dari bahasa Yunani, yaitu pragma yang berarti “tindakan atau keputusan”) yang mana menegaskan sifat dasar kegunaan untuk filsafat”. Banyak sekali pemikiran yang dicetuskan oleh Peirce, hingga akhirnya pada tahun 1914 dia meninggal dunia.[5]
E.  Karya-karya Charles S Peirce
      Charles Peirce merupakan ilmuan yang memiliki banyak keahliannya sehingga tidak sedikit karya yang telah dihasikan semasa hidupnya, berikut karya-karya beliau :
  1. Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).
  2. The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992, 1998).
  3. The New Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I Arithmetic, Volume II Algebra and Geometry, Volume III/1 and III/2 Mathematical Miscellanea, Volume IV Mathematical Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mouton Publishers, The Hague, 1976).
  4. Pragmatism as a Principle and Method of Right Thinking: the 1903 Harvard Lectures on Pragmatism by Charles Sanders Peirce. Edited by Patricia Ann Turrisi (State University of New York Press, Albany, New York, 1997).
  5. Reasoning and the Logic of Things: the Cambridge Conferences Lectures of 1898. Edited by Kenneth Laine Ketner (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts,
  6. 1992).
  7. Writings of Charles S. Peirce: a Chronological Edition, Volume I 1857-1866, Volume II 1867-1871, Volume III 1872-1878, Volume IV 1879-1884, Volume V 1884-1886. Edited by the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1982, 1984, 1986, 1989, 1993).[6]
Konsep semiotika menurut Charles S. Peirce bahwa semua cara berpikir bergantung pada penggunaan tanda-tanda. Peirce berpendapat bahwa setiap pikiran adalah tanda, dan bahwa setiap tindakan penalaran terdiri dari penafsiran tanda.  Manusia hanya berpikir dalam tanda. Manusia berkomunikasi dalam tanda untuk memahami dan berpikir tentang dunia. Menurut Peirce untuk memahami sebuah tanda terlebih dahulu harus diamati untuk menangkap fungsi dari tanda tersebut, harus bisa ditangkap, representatif, interpretatif.
Dari beberapa tokoh semiotik, ada 2 (dua) yang sangat ternama, yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Shanders Peirce (1839-1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda, tetapi keduanya berfokus pada tanda.
Aart van Zoezt menuturkan Charles Sanders Peirce adalah salah seorang tokoh filsuf yang paling orisinil dan multidimensional, begitupun komentar Paul Cobley dan Litza Jansz (1999:20), Pirce adalah seorang pemikir yang argumentatif (Alex Sobur, 2005:39). Peirce terkenal dengan teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Peirce, sebagaimana dipaparkan Lechte (2001:227), seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang (Alex Sobur, 2005:39). Charles Sanders Peirce, seorang ahli filsafat dari Amerika, menegaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan sarana tanda. Sudjiman dan Van Zoest, (1966:vii) mengatakan bahwasanya “sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi”[7].
Sementara itu, dengan merujuk pada Charles Sanders Peirce (1931-1958), para pragmatis melihat tanda sebagai “ sesuatu yang mewakili sesuatu “. Yang menarik adalah bahwa “ sesuatu “  itu dapat berupa hal yang konkret (dapat ditangkap dengan panca indra manusia), yang kemudian, melalui proses, mewakili “ sesuatu “ yang ada dalam kognisi manusia. Jadi, yang dilihat oleh Peirce, tanda bukanlah suatu struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang ditangkap oleh panca indra. Dalam teorinya, “ sesuatu “ yang pertama yang konkret adalah suatu “ perwakilan “ yang disebut representamen (ground), sedangkan “ sesuatu “ yang ada dalam kognisi disebut objek. Proses hubungan dari repersentamen ke objek disebut semiosis (semeion, Yun.’tanda’). dalam pemaknaan suatu tanda, proses semiosis ini belum lengkap karena kemudian ada satu proses lanjutan lagi yang disebut interpretant (proses penafsiran). Jadi, secara garis besar pemaknaan suatu tanda ada dalam proses semiosis dari konkret ke dalam kognisi manusia yang hidup bermasyarakat. Karena sifatnya yang mengaitkan tiga segi, yakni representamen, objek dan interpretan, dalam suatu proses semiosis teori semiotik ini disebut bersifat trikotomis.[8]
Merujuk pada teori Peirce (Noth, 1995:45), berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda-tanda dalam gambar dan dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Diantaranya : ikon, indeks, dan simbol (Kris Budiman, 2005:56). Pertama : Dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua : Menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebua indeks. Ketiga : Kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotaif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah, atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Dan Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat aibitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.[9]
Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin.[10]
Dalam analisis semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampiln ya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.
Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simb ol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat. Tabel berikut menunjukkan hubungan ketiganya. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, d an tidak memiliki ciriciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent ssomething else).
Proses pemakna-an tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Ke -mudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Peirce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga inter -pretattif. Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol. Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O). Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal.
Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjut -nya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Akhirnya apabila di tepi pantai se -seorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional. Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap -tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudaya -an kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut. Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland Barthes (1915 - 1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karya - karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes komponen - komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk memp-ertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988). Selanjutnya Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan teori signifiant - signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) ter-tentu, sehingga membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori ten - tang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai gejala meta -bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda selalu memperoleh pe -maknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangan -nya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga model De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan.
Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu.[11]  Aliran semiotik yang dipelopori oleh Julia Kristeva dise but semiotika eksplanatif. Ciri aliran ini adalah adanya sasaran akhir untuk mengambil alih kedudukan filsafat. Karena begitu terarahnya pada sasaran, semiotik ini terkadang disebut ilmu total baru ( de nieuwe totaalwetwnschap). Dalam semiotik ini pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya. Tempat itu diduduki oleh pengertian produksi arti. Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis, diganti oleh penelitian yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk). Para ahli semiotika jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis mereka dengan pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme.[12]


[1].Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)
[2] .Teew, A., Khasanah Sastra Indonesia (Ja-karta: Balai Pustaka, 1984)
[3]. Di tulis oleh Wina Wayan Sartini dalam sebuah artikel yang diberi judul “Tinjauan Teoritik tentang Semiotik” Universitas Airlangga 2004
[4] . Di tulis oleh Wina Wayan Sartini dalam sebuah artikel yang diberi judul “Tinjauan Teoritik tentang Semiotik” Universitas Airlangga
[6] Editor. First published Fri Jun 22, 2001; substantive revision Wed Jul 26, 2006. Charles Sanders Peirce. Didownload 24 September  2014 dari Stanford Encyclopedia of Philosophy;http://plato.stanford.edu/entries/peirce/

[7] . Sobur, Alex, Analisis Teks Media (Ban-dung: Remaja Rosdakarya, hal 124 / 2004)
[8] Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya ( Depok : Komunitas Bambu, 2014)h. 16
[10]. Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, hal: 10 /1993)
[11] . Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, hal: 4 / 1993)
[12] . Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, hal: 5 / 1993)

Kesimpulan
            Dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:
Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat berbagai macam tanda yang perlu diartikan bahkan ditafsirkan dari suatu tanda. Charles Sanders Peirce merupakan salah satu tokoh semiotika yang sangat berpengaruh. Adapun teori semiotika Charles Sanders Peirce adalah tanda sebagai “ sesuatu yang mewakili sesuatu “. Hingga  pada akhirnya ia berkeyakinan bahwa manusia berfikir dalam tanda. Secara etimologi ia menyatkan bahwa “Kita hanya berfikir dalam tanda”. Tanda selain sinonim dengan logika tanda juga merupakan alat komunikasi. Dari sini Charles Sanders Peirce semakin yakin segala sesuatu adalah tanda.












Daftar Pustaka
-          H. Hoed, Benny.2014. Semiotik & Dinamika Sosial. Depok : Komunitas Bambu.
-          Van Zoest, Aart, 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya . Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
-          Teew, A., Khasanah Sastra Indonesia (Ja-karta: Balai Pustaka, 1984)
-          Di tulis oleh Wina Wayan Sartini dalam sebuah artikel yang diberi judul “Tinjauan Teoritik tentang Semiotik” Universitas Airlangga 2004
-          Editor. First published Fri Jun 22, 2001; substantive revision Wed Jul 26, 2006. Charles Sanders Peirce. Didownload 24 September  2014 dari Stanford Encyclopedia of Philosofy ;http://plato.stanford.edu/entries/peirce/



3 komentar: