Semiotika Charles Sanders Peirce
Oleh :
Musiandi
(1111034000026)
Ulfah
Zakiyah (1111034000013)
A. Pendahuluan
Dalam proses komunikasi secara primer,
lambang atau simbol digunakan sebagai media dalam penyampaian gagasan atau
perasaan seseorang kepada orang lain. Lambang di dalam proses komunikasi
meliputi bahasa, gestur, isyarat, gambar, warna, dan tanda-tanda lainnya yang
dapat menerjemahkan suatu gagasan atau perasaan seseorang (komunikator) kepada
orang lain (komunikan) secara langsung. Dari berbagai lambang yang dapat
digunakan di dalam proses komunikasi, bahasa merupakan media yang paling banyak
dipakai karena paling memungkinkan untuk menjelaskan pemikiran seseorang, dan
dengan bahasa pula segala kejadian masa lalu, masa kini, maupun ramalan masa
depan dapat dijelaskan. Fungsi bahasa yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu
pengetahuan dapat berkembang dan hanya dengan kemampuan berbahasa, manusia dapat
mempelajari ilmu pengetahuan.Kegagalan dalam proses komunikasi banyak
disebabkan oleh kesalahan berbahasa atau ketidakmampuan memahami bahasa.
Semiotika
merupakan ilmu atau metode ilmiah untuk melakukan analisis terhadap tanda dan
segala hal yang berhubungan dengan tanda. Tanda merupakan bagian yang penting
dari bahasa, karena bahasa itu sendiri terdiri dari kumpulan lambang-lambang,
dimana di dalam lambang-lambang itu terdapat tanda-tanda. Oleh karenanya tentu
ada kaitan yang erat antara semiotika dengan proses komunikasi, mengingat
semiotika merupakan unsur pembangun bahasa dan bahasa merupakan media dalam proses
komunikasi. Pentingnya semiotika dalam komunikasi mendorong para ahli dan
ilmuwan semiotik untuk merumuskan berbagai macam teori semiotika. Teori-teori
tersebut terus berkembang dan saling melengkapi.
Sejarahnya
Semiotik adalah sains yang mengkaji sistem
perlambangan yang telah bermula sejak zaman Greek lagi, iaitu; zaman Plato dan
Aristotle. Kedua-dua tokoh tersebut telah memulakan sebuah teori bahasa dan
makna. Namun tidak lama selepas itu, teori ini dirasakan tidak wajar, lalu
kegunaan dan keunggulannya mula menjadi lemah. Namun,
pada abad ke 17, pendekatan semiotik mula mendapat perhatian John Locke,
seorang ahli falsafah Inggeris untuk menjelaskan doktrin perlambangan ketika
itu. Kali ini, kemunculan pendekatan semiotik beransur-ansur mendapat perhatian
sehingga ia mula mendapat tempat di kalangan tokoh-tokoh yang terkemuka seperti
Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik Eropah dan Charles Sander Peirce,
seorang ahli falsafah Amerika pada abad ke 19. Kedua-duanya mereka telah
merintis jalan bagi mengkaji dan menilai kesusasteraan melalui pendekatan
semiotik. Oleh kerana semiotik merupakan gabungan daripada
disiplin-disiplin lain, telah ada usaha dari Saussure untuk memantapkan
kedudukannya agar dapat mandiri dan berdiri sebagai satu disiplin yang
autonomous. Sedikit demi sedikit, semiologi mula mendapat tempat melalui
tulisan-tulisan Roland Barthes. Ia tidak lagi dilihat sebagai sebuah teori yang
bersifat daerah yang hanya dibataskan kegunaannya untuk kajian bahasa dalam
kesasteraan saja. Malah, ia dapat diaplikasikan dalam semua persoalan hidup
yang penuh dengan lambang dan perlambangan. Maka mengaitkannya dengan bahasa dan kesusasteraan.
Menurut Barthes, bahasa berpengaruh
dalam semua aspek kehidupan dan ia boleh ditinjau melalui karya-karya yang
terhasil. Karya merupakan cerminan realiti sebenar yang diungkap dalam bentuk
tulisan. Selain
Barthes, semiotik merupakan satu bidang yang telah memikat ramai tokoh-tokoh
serta ahli falsafah seperti Umberto Eco, Algirdas Julien Greimas, Louis Hjelmslev,
Julia Kristeva, Charles Sander Peirce dan Tzvetan Todorov. Tokoh-tokoh tersebut
menggunakan pendekatan semiotik untuk mengkaji karya dari berbagai aspek, iaitu
daripada aspek perlambangan, imejan, ekspresi hinggalah ke aspek hermeneutik.
Dari itu, dapat dilihat bahawa pendekatan semiotik telah mendapat tempat dalam
kajian-kajian yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut sehingga kekuatannya
terbukti apabila ia dapat digunakan secara meluas di kalangan para pengkaji.
Konsep Teori Semieon
adalah istilah yang digunakan oleh orang Greek untuk merujuk kepada sains yang
mengkaji sistem perlambangan atau sistem tanda dalam kehidupan manusia.
Daripada akar kata inilah terbentuknya istilah semiotik, iaitu kajian sastera
yang bersifat saintifik yang meneliti sistem perlambangan yang berhubung dengan
tanggapan dalam karya. Menurut Mana Sikana (1985: 175), pendekatan semiotik
melihat karya sastera sebagai satu sistem yang mempunyai hubungan dengan teknik
dan mekanisme penciptaan sesebuah karya Ia juga memberi tumpuan kepada
penelitian dari sudut ekspresi dan komunikasi.
Semiotik adalah sebuah disiplin ilmu
sains umum yang mengkaji sistem perlambangan di setiap bidang kehidupan. Ia
bukan sahaja merangkumi sistem bahasa, tetapi juga merangkumi lukisan, ukiran,
fotografi mahupun pementasan drama atau wayang gambar. Ia wujud sebagai teori
membaca dan menilai karya dan merupakan satu displin yang bukan sempit
keupayaannya. Justeru itu ia boleh dimandatkan ke dalam pelbagai bidang ilmu
dan boleh dijadikan asas kajian sebuatu kebudayaan. Oleh kerana sosiologi dan
linguistik merupakan bidang kajian yang mempunyai hubungan di antara satu sama
lain, semiotik yang mengkaji sistem tanda dalam bahasa juga berupaya mengkaji
wacana yang mencerminkan budaya dan pemikiran. Justeru, yang menjadi perhatian
semiotik adalah mengkaji dan mencari tanda-tanda dalam wacana serta menerangkan
maksud daripada tanda-tanda tersebut dan mencari hubungannya dengan ciri-ciri
tanda itu untuk mendapatkan makna signifikasinya.
B. Pengertian Semiotik
Semiotik
atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang
berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran
hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan
diagnostik inferensial
Secara
terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian
tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda
dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas
obyek - obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.[1] Tanda
pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.
Ahli sastra
Teew (1984:6)[2].
Mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian
disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor
dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang
khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif
masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Semiotik
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda dan
produksi makna tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga
bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan suatu yang lain yang dapat
dipikirkan atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semua berkembang dalam bidang
bahasa kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi
visual
C. Macam-macam
Semiotik
Sampai saat ini,
sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang.
Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal
zoosemiotic, kultural, naratif, natural,
normatif, sosial, struktural.[3]
Semiotik
analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan
bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan
makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang
terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek
tertentu.
Semiotik
deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita
alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang
disaksikan sekarang.
Semiotik faunal
zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang
dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif
adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan
c erita lisan (folklore).
Semiotik natural
atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.
Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang
dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik
lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat.
“Semiotik
struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dimanifestasikan melalui struktur bahasa”.[4]
D. Biografi Chales sanders
Charles
Sanders Peirce (1839-1914)
dilahirkan di Cambridge, dia merupakan anak dari seorang ahli matematika
Universitas Harvard, dia merupakan seorang ahli ilmu pengetahuan dan seorang
filosof”. “Keahliannya dibidang
ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada diskursus geologi, kimia, dan
fisika, tetapi juga termasuk apresiasi prosedur yang digunakan oleh para
pendahulu yang sukses dalam meningkatkan pengetahuan”.
Peirce
menghabiskan pendidikannya di Universitas Harvard. “Sebelum masuk ke Harvard,
pada usia 16 tahun, Peirce sudah melakukan training di laboratorium kimia selama sepuluh
tahun, dan telah membaca logika Whitely. Pendidikannya dikonsentrasikan pada filsafat
dan ilmu-ilmu fisika”. Sehingga
tidak heran, “dia menerima gelar Master
of Art (M.A.) dalam bidang
matematika dan kimia, serta dia bekerja selama tiga tahun pada observatorium
astronomi Universitas Harvard”.
Peirce memiliki
kesamaan dengan ayahnya. …”ayahnya adalah seorang guru besar matematika dan
bekerja pada Coastal and
Geodetic Survey selama
beberapa tahun”. Tidak
mengherankan, “pada tahun 1861 sampai 1891 dia bergabung dengan U. S. Coastal & Geodetic Survey”.
Selain itu Peirce juga memiliki kesibukan menjadi seorang dosen pada salah satu
universitas. “Dia memberikan kuliah di Johns
Hopkins University, akan tetapi ia tidak pernah tetap memberikan kuliah
kecuali di Johns Hopkins
University saja”.
“Peirce menikah pada
1862 dengan Marriet Melunisia Inadequasies yang akrab dengan panggilan Zina,
feminis pertama di Amerika. Ia merupakan semangat pembaruannya dengan mengajak
Peirce ke dalam persekutuan gereja Episcopal”. Peirce pun sempat bertemu bahkan
berteman akrab dengan William James. Peirce memproduksi banyak teori ilmu
pengetahuan, kemudian William James mempropagandakannya. “Walaupun dia menyesali propaganda gagasannya
oleh William James, James adalah
seorang teman setia Peirce yang
memperkenalkan teori-teori Peirce kepada masyarakat cendekia”.
Peirce juga merupakan
seorang aktivis. Disela-sela kesibukannya, Peirce masuk ke dalam berbagai
kelompok kajian ilmiah. “Peirce menjadi anggota pelbagai kelompok ilmiah dan
menghasilkan banyak makalah tetapi tidak pernah menulis buku. Kumpulan
karangannya dikumpulkan sebagai buku setelah
ia meninggal”. Peirce berhasil menggabungkan dua cara berpikir, yaitu deduksi
dan induksi serta memperkenalkannya dengan sebutan abduksi. “Peirce
memperkenalkan tiga tipe cara berpikir didalamnya merupakan penjumlahan dari
bentuk standar dua, yaitu deduksi dan induksi yang dia sebut sebagai abduksi
yang mana setelah itu abduksi dikenal sebagai cara berpikir menuju penjelasan
yang terbaik”. Selain itu dia juga merupakan seorang tokoh pendiri salah satu
aliran filsafat, yaitu pragmatisme. “pragmatisme (berasal dari bahasa Yunani,
yaitu pragma yang berarti “tindakan atau
keputusan”) yang mana menegaskan sifat dasar kegunaan untuk filsafat”. Banyak sekali pemikiran yang
dicetuskan oleh Peirce, hingga akhirnya pada tahun 1914 dia meninggal dunia.[5]
E. Karya-karya Charles S Peirce
Charles
Peirce merupakan ilmuan yang memiliki banyak keahliannya sehingga tidak sedikit
karya yang telah dihasikan semasa hidupnya, berikut karya-karya beliau :
- Collected Papers of Charles
Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and
Arthur Burks (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts,
1931-1958).
- The Essential Peirce, 2 vols.
Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce Edition Project
(Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992, 1998).
- The New Elements of Mathematics
by Charles S. Peirce, Volume I Arithmetic, Volume II Algebra and Geometry,
Volume III/1 and III/2 Mathematical Miscellanea, Volume IV Mathematical
Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mouton Publishers, The Hague, 1976).
- Pragmatism as a Principle and
Method of Right Thinking: the 1903 Harvard Lectures on Pragmatism by
Charles Sanders Peirce. Edited by Patricia Ann Turrisi (State University
of New York Press, Albany, New York, 1997).
- Reasoning and the Logic of
Things: the Cambridge Conferences Lectures of 1898. Edited by Kenneth
Laine Ketner (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts,
- 1992).
- Writings of Charles S. Peirce:
a Chronological Edition, Volume I 1857-1866, Volume II 1867-1871, Volume
III 1872-1878, Volume IV 1879-1884, Volume V 1884-1886. Edited by the
Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana,
1982, 1984, 1986, 1989, 1993).[6]
Konsep
semiotika menurut Charles S. Peirce bahwa semua cara berpikir bergantung pada
penggunaan tanda-tanda. Peirce berpendapat bahwa setiap pikiran adalah
tanda, dan bahwa setiap tindakan penalaran terdiri dari penafsiran tanda.
Manusia hanya berpikir dalam tanda. Manusia berkomunikasi dalam tanda untuk
memahami dan berpikir tentang dunia. Menurut Peirce untuk memahami sebuah tanda
terlebih dahulu harus diamati untuk menangkap fungsi dari tanda tersebut, harus
bisa ditangkap, representatif, interpretatif.
Dari beberapa tokoh semiotik, ada 2
(dua) yang sangat ternama, yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss
bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang filsuf Amerika yang
bernama Charles Shanders Peirce (1839-1914). Peirce menyebut model sistem
analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang
dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda, tetapi keduanya berfokus pada tanda.
Aart van Zoezt menuturkan Charles
Sanders Peirce adalah salah seorang tokoh filsuf yang paling orisinil dan
multidimensional, begitupun komentar Paul Cobley dan Litza Jansz (1999:20),
Pirce adalah seorang pemikir yang argumentatif (Alex Sobur, 2005:39).
Peirce terkenal dengan teori tandanya. Di dalam
lingkup semiotika, Peirce, sebagaimana dipaparkan Lechte (2001:227), seringkali
mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi
seseorang (Alex Sobur, 2005:39). Charles Sanders Peirce, seorang ahli filsafat dari
Amerika, menegaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan sarana tanda.
Sudjiman dan Van Zoest, (1966:vii) mengatakan bahwasanya “sudah pasti bahwa
tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi”[7].
Sementara itu, dengan merujuk pada
Charles Sanders Peirce (1931-1958), para pragmatis melihat tanda sebagai “
sesuatu yang mewakili sesuatu “. Yang menarik adalah bahwa “ sesuatu “ itu dapat berupa hal yang konkret (dapat
ditangkap dengan panca indra manusia), yang kemudian, melalui proses, mewakili
“ sesuatu “ yang ada dalam kognisi manusia. Jadi, yang dilihat oleh Peirce,
tanda bukanlah suatu struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal
dari apa yang ditangkap oleh panca indra. Dalam teorinya, “ sesuatu “ yang
pertama yang konkret adalah suatu “ perwakilan “ yang disebut representamen (ground),
sedangkan “ sesuatu “ yang ada dalam kognisi disebut objek. Proses hubungan
dari repersentamen ke objek disebut semiosis (semeion, Yun.’tanda’).
dalam pemaknaan suatu tanda, proses semiosis ini belum lengkap karena kemudian
ada satu proses lanjutan lagi yang disebut interpretant (proses
penafsiran). Jadi, secara garis besar pemaknaan suatu tanda ada dalam proses
semiosis dari konkret ke dalam kognisi manusia yang hidup bermasyarakat. Karena
sifatnya yang mengaitkan tiga segi, yakni representamen, objek dan interpretan,
dalam suatu proses semiosis teori semiotik ini disebut bersifat trikotomis.[8]
Merujuk pada teori Peirce (Noth,
1995:45), berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda-tanda dalam gambar dan
dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Diantaranya :
ikon, indeks, dan simbol (Kris Budiman, 2005:56).
Pertama : Dengan mengikuti sifat objeknya, ketika
kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua :
Menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika
kita menyebut tanda sebua indeks. Ketiga :
Kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai
objek denotaif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda
sebuah simbol Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan
petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah, atau dengan kata lain, ikon
adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan
petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang
langsung mengacu pada kenyataan. Dan Simbol adalah tanda yang menunjukkan
hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya
bersifat aibitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian)
masyarakat.[9]
Peirce selain
seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia
itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam
tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika
baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya
berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam
komunikasi. Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda
artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin.[10]
Dalam analisis
semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga
kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah
tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah
merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns
adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampiln ya dalam kenyataan.
Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns.
Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns
adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang
berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns.
Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan
sebagainya.
Untuk tanda dan
denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik,
indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi
sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau
lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
mengisyaratkan petandanya, sedangkan simb ol adalah penanda yang melaksanakan
fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan
dalam masyarakat. Tabel berikut menunjukkan hubungan ketiganya. Model tanda
yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, d an tidak memiliki
ciriciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21). Prinsip dasarnya adalah bahwa
tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu
yang lain ( something that represent ssomething else).
Proses
pemakna-an tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen
(R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda
yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang
diwakili olehnya (O). Ke -mudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan
hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Peirce, tanda tidak hanya
representatif, tetapi juga inter -pretattif. Teori Peirce tentang tanda
mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah
struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di
atas bahwa Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed
(2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat
asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu
membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O). Setelah itu
ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban mobil. Tanda seperti
itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan
terkadang kausal.
Dalam pada itu
apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang
membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjut
-nya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya
(I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan
identitas. Akhirnya apabila di tepi pantai se -seorang melihat bendera merah
(R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O).
Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu’ (I).
Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat
konvensional. Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap
-tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada
tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa
adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan dari kemungkinan yang
potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai
secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda
dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk
memahami bahwa dalam suatu kebudaya -an kadar pemahaman tanda tidak sama pada
semua anggota kebudayaan tersebut. Salah seorang sarjana yang secara
konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland Barthes (1915 -
1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karya -
karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes
komponen - komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda
bukan bahasa antara lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem
citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk memp-ertahankan dan
menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988). Selanjutnya Barthes (1957 dalam de
Saussure) menggunakan teori signifiant - signifie yang
dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah signifiant
menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes
mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) ter-tentu, sehingga
membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori ten - tang
tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda.
Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga
ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai
gejala meta -bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda
selalu memperoleh pe -maknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi
dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangan -nya disebut
sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem
sekunder ke arah isi disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi.
Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan
juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Dalam
kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek
emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes
demikian juga model De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa
sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk
menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan.
Semiotik yang
dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga
pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semios is,
tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala
kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi
dari gejala struktur tertentu.[11] Aliran semiotik yang dipelopori oleh Julia
Kristeva dise but semiotika eksplanatif. Ciri aliran ini adalah adanya sasaran
akhir untuk mengambil alih kedudukan filsafat. Karena begitu terarahnya pada
sasaran, semiotik ini terkadang disebut ilmu total baru ( de nieuwe
totaalwetwnschap). Dalam semiotik ini pengertian tanda kehilangan tempat
sentralnya. Tempat itu diduduki oleh pengertian produksi arti. Penelitian yang
menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis,
diganti oleh penelitian yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk).
Para ahli semiotika jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi,
mencampurkan analisis mereka dengan pengertian-pengertian dari dua aliran
hermeutika yang sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme.[12]
[1].Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya
dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)
[3].
Di tulis oleh Wina Wayan Sartini dalam sebuah artikel yang diberi judul “Tinjauan
Teoritik tentang Semiotik” Universitas Airlangga 2004
[4] . Di tulis oleh Wina Wayan Sartini dalam sebuah artikel
yang diberi judul “Tinjauan Teoritik tentang Semiotik” Universitas Airlangga
[6] Editor. First published Fri Jun 22, 2001; substantive
revision Wed Jul 26, 2006. Charles Sanders Peirce. Didownload 24 September 2014 dari Stanford Encyclopedia of Philosophy;http://plato.stanford.edu/entries/peirce/
[8] Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya ( Depok :
Komunitas Bambu, 2014)h. 16
[10]. Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya
dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, hal: 10 /1993)
[11] . Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya
dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, hal: 4
/ 1993)
[12] . Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya
dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, hal: 5
/ 1993)
Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:
Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji
tanda-tanda dalam kehidupan manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
dalam kehidupan manusia terdapat berbagai macam tanda yang perlu diartikan
bahkan ditafsirkan dari suatu tanda. Charles Sanders Peirce merupakan salah
satu tokoh semiotika yang sangat berpengaruh. Adapun teori semiotika Charles
Sanders Peirce adalah tanda
sebagai “ sesuatu yang mewakili sesuatu “. Hingga pada akhirnya ia berkeyakinan bahwa manusia
berfikir dalam tanda. Secara etimologi ia menyatkan bahwa “Kita hanya berfikir dalam
tanda”. Tanda selain sinonim dengan logika tanda juga merupakan alat
komunikasi. Dari sini Charles Sanders Peirce semakin yakin segala sesuatu
adalah tanda.
Daftar Pustaka
-
H. Hoed, Benny.2014. Semiotik &
Dinamika Sosial. Depok : Komunitas Bambu.
-
Van Zoest, Aart, 1993. Semiotika:
Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya . Jakarta:
Yayasan Sumber Agung.
-
Teew, A., Khasanah Sastra Indonesia (Ja-karta:
Balai Pustaka, 1984)
-
Di tulis oleh Wina Wayan Sartini dalam
sebuah artikel yang diberi judul “Tinjauan Teoritik tentang Semiotik”
Universitas Airlangga 2004
-
Editor.
First published Fri Jun 22, 2001; substantive revision Wed Jul 26, 2006.
Charles Sanders Peirce. Didownload 24 September
2014 dari Stanford Encyclopedia of Philosofy ;http://plato.stanford.edu/entries/peirce/
-
http://noviyanto-noviyanto72.blogspot.com/2009/10a/artikel-teoritik-semiotika--
charles-sanders.html
Kak Ulfa??????
BalasHapusIya Hadir . Buyung Sabil ya ?
HapusSangat bermenfaat ni sob, makasih sudah memberikan wawasan baru.
BalasHapus